*

*

Ads

Selasa, 03 April 2018

Asmara Berdarah Jilid 184

"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa inipun mengandung jebakan yang amat berbahaya sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi alat rahasianya.”

“Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu dan hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itupun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi."

Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon,

"Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"

Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin mengejek,
"Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri,
"Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"

Hui Song memandang girang.
"Bagaimana, locianpwe?"

"Membebaskannya melalui batu patkwa tidak mungkin, meloncat ke tiang itupun tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"

Tiba-tiba kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah.

"Ndut, kenapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"

"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya dapat dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulur lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"

Biarpun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu biarpun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang dan memandang kakek gendut dengan mata melotot.

"Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."

"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.

"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu disini, tentu engkau akan selamat." Dan dia lalu menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkau San-sian (Dewa Kipas), karena engkau paling gendut dan paling berat, juga untuk hukumanmu telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga paling bawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini," ditunjuknya Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"

Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya memang orang yang bertubuh kecil biasanya lebih gesit dan cerdik daripada orang yang bertubuh besar. Dia menggeleng kepala.

"Aku tidak mengerti..."

"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat sekali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.

Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini. Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar,






"Kalau tidak mengerti, turut saja perintahku! Tak perlu membuang waktu banyak lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa di bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"

Biarpun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas.

"Jangankan hanya empat orang, biar sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.

"Bagus, kalau begitu cepat kaurebahken dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"

Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, di bagian segi yang tertutup bayangan tiang.

"Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."

Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, diantara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu. Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lalu meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang.

Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung. Setelah itu, Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, seperti seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, kedua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.

"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"

Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang dan gadis ini menoleh ke belakang karena pada saat itu, matahari berada di depannya dan bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.

"Ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenagapun aku masih sanggup menahanmu!"

Siang-kiang Lo-jin yang menahan tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan bicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biarpun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!

"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin.

Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya, tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin!

Mereka akhirnya dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa maupun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil namun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.

"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar batu pat-kwa!"

Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang tiang dan gurunya memegang kedua pundaknya, lalu dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melemparkan tubuh muridnya itu ke arah samping.

Tubuh gadis itu melayang jauh dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya dan akhirnya dengan lunak dara itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!

Tiang manusia itupun terbongkar setelah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.

"Suhu...!"

Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.

"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"

Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan luar biasa kini lari menghampiri Hui Song yang sudah melompat turun. Mereka itu saling menghampiri dan kini berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa ia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.

"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.

"Benar katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.

Mendengar ucapan dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan dua muda-mudi ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lalu menghampiri Cia Sun.

"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.

"Berterima kasihlah kepada suhumu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.

Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali, di dalam hatinya dia tidak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus,

"Saudara Ci Kang, terima kasih!"

Ci Kang mengankat muka memandang dan melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya.

"Aku... aku tidak ada artinya, nona..."

Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan main melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Kalau menurutkan perasaan hatinya, dia ingin meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimanapun juga Ci Kang membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia menahan kepanasan hatinya.

"Dimana adanya datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"

Berkata demikian, dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda inipun putera seorang datuk sesat.

"Mereka setelah mengikatku disini lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih disana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.

"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua orang iblis itu dihancurkan, tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi." kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.

Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itupun tidak mereka temukan.

Agaknya dua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit memang dapat terlihat batu pat-kwa itu dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi disitu dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya suami isteri iblis itu ketika melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai, mereka menjadi gentar dan meninggalkan tempat itu.

"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.

"Hemm, kemana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.

"Aku tahu dimana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata dan semua mata memandang kepadanya.

Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik,
"Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka."

Akan tetapi pada saat itu terdengar Cia Sun berkata,
"Benar, Ci Kang dan aku tahu dimana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"

Ci Kang dan Cia Sun sebagai penunjuk jalan lalu lari cepat diikuti oleh yang lain. Ketika melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,

"Eh, kenapa ke San-hai-koan?"

"Memang di sanalah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapapun sehingga disana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.

**** 184 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: