*

*

Ads

Selasa, 03 April 2018

Asmara Berdarah Jilid 183

Setelah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song sudah meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu.

Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itupun berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat.

Karena Sui Cin tidak dapat bergerak, kedua pergelangan tangannya diikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tak dapat dihindarkannya lagi. Tubuh Hui Song yang berdiri di atas tiang dengan sebelah kaki, berpusing dengan amat cepatnya pula. Pemuda inipun bingung sekali karena dia tidak mungkin dapat menghentikan gerakan tiang yang berputar dengan amat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran.

Betapapun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang. Yang membingungkan hatinya adalah karena dia memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang juga berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.

Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Kalau tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, akan berbahayalah keadaan mereka. Orang akan dapat tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.

"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba-tiba Ci Kang membentak dan nyaring.

Dia tidak ingat lagi akan segala ketidak senangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song berpusing seperti itu.

Barulah Cia Sun teringat dan iapun cepat meneriaki Hui Song agar segera meloncat turun. Tadinya, Hui Song sendiri tidak sadar dan mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak.

Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapapun juga, teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tidak memperdulikan lagi bahaya apapun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang.

Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itupun sudah tidak nampak olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.

Begitu tubuhnya meloncat terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu dan loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu dilemparkan dengan tenaga raksasa.

Kalau bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu. Akan tetapi Hui Song tidak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia dapat mengambil tindakan tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya dan dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadipun dapat dihindarkan.

Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, walaupun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh. Ketika memandang, kepalanya pening dan dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia dapat menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya!

Dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gadis itu telah jatuh pingsan!

"Cin-moi...!"

Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan dan dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.

"Ia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.






"Untung ia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.

Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinyapun lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berbenti sama sekali seperti tadi. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!

"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.

"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.

"Atau dia sengaja memancing para pendekar agar berkumpul disini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasia batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.

"Aku tidak perduli Iblis itu menggunakan siasat apapun, aku tidak perduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.

Cia Sun mengerutkan alisnya.
"Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orang lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri.

Ci Kang diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.

"Maksudku, aku tidak perduli aku celaka atau mati sekalipun asalkan ia dapat diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.

Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya dan segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, ia merasa betapa sekelilingnya masih berpusing.

"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.

Mendengar suara Hui Song, legalah hati Sut Cin. Tadi ia sudah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja, merasa berpusing sedemikian cepatnya dan ia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.

"Kalian berhati-hatilah, jangan gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ah, siapa yang datang itu...?"

Tiga orang muda itu memandang dan mereka mangerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.

"Hemm, kalau itu Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.

"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.

"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.

"Heiii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.

"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang ketika mengenal kakek gendut botak itu.

Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba disitu, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh dan menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.

"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa disitu?"

"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat disini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"

Mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul.

"Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"

"Locianpwe, kami bertiga tadi sudah mencoba-coba, akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."

Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya barkata,
"Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu dapat membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"

Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.

"Ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlalu banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.

Kerut diantara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal.

"Aahhh, apa sih sukarnya? Biar batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"

"Jangan, suhu!" kata Hui Song. "Baru diinjak saja sudah mengeluarken senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apalagi digempur!"

"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur dan alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti kau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelatak dan mulut cemberut.

Dia marah sungguh-sungguh akan tetapi tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.

"Huh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir disini? Aku menggempur batu pat-kwa dan engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna disini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"

"Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang macam engkau ini yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kau habiskan sendiri!"

"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tidak tahu terima kasih kepada alam, biar alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."

"Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"

Dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin berseru,

"Suhu, aku tak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"

Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang.

"Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"

Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak melayani dan dia bertanya kepada Hui Song
"Kalian tadi sudah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan, apa rahasianya!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: