*

*

Ads

Senin, 26 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 180

Sementara itu, pertempuran di San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan.

Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat dan tokoh-tokoh dunia hitam, membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu.

Akan tetapi, pasukan pemerintah jauh lebih kuat dan pasukan inipun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak, maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itupun bobol dan pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.

Cia Sun dan Ci Kang kini mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah. Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!

Setelah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia dimana Hui Cu tadi mereka tinggalkan.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang. Juga dalam penyerbuan itu, walaupun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain.

Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya dapat tertawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka dan panglima pemberontak inipun tidak dapat menjawab kemana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu. Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Kiranya tokoh-tokoh terpenting mereka dapat melarikan diri.

Setelah San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang telah diperhitungkannya, pasukan-pasukan pemberontak sedang mengepung Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobolkan benteng Ceng-tek yang sudah diduduki pasukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.

Tentu saja pasukan pemberontak yang sedang mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apalagi setelah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara dan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah.

Pasukan pemberontak mencoba untuk melakuken perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang dan dalam waktu sehari saja merekapun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.

Dan terjadilah perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu dan kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.

Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki bentmg Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak.

Dia tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan.

Oleh karena itu, Yang-ciangkun lalu menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras untuk menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang memiliki suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.






"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat yang telah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap agar suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami agar persahabatan diantara kita tidak terganggu!"

Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar sehingga terdengar oleh mereka yang berjaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.

Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat dimana ia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini merasa bimbang sekali dan ia duduk berdua saja dengan Sui Cin. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.

"Keparat! Dengan susah payah kita merebut kota ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"

Sui Cin sejak tadi memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek.

Akan tetapi iapun tahu bahwa kini, setelah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, ia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.

"Subo..." katanya lirih dan hati-hati.

"Hemm...?"

Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.

"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"

"Percaya apa?"

"Percaya bahwa aku selalu beriktikad baik terhadap subo dan pasukan yang subo pimpin."

Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam.
"Tentu saja. Sudah banyak yang kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali. Kalau aku tidak percaya padamu, tentu engkau tidak kuberi tugas yang penting-penting selama ini."

"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, melainkan karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka saya itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak akan merasa tersinggung dan menjadi marah."

Nenek itu tersenyum dan memandang lembut.
"Muridku, apa kau kira aku belum mengenalmu dan tidak tahu akan isi hatimu? Engkau membantuku karena melihat aku menentang para pemberontak. Engkau seorang gadis pendekar dan tentu engkau menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Kalau kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami walaupun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"

Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana. Pantaslah kalau menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.

"Sungguh tepat sekali wawasan subo."

"Nah, sekarang katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."

"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya. Tanpa diserang sekalipun, baru dikepung saja sampai sebulan lebih, kita akan kehabisan ransum dan akan celaka. Andaikata kita melawanpun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tidak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, jauh lebih menguntungkan untuk menerima usul Yang-ciangkun, menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat daripada mempertahankannya dengan kekerasan untuk akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."

"Pendapatmu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Akan tetapi, pantaskah kalau aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"

"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai minta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Kalau subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"

"Aih, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai kesitu? Engkau benar sekali. Aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan dan wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami itu kepada Yang-ciangkun!"

Sui Cin gembira sekali.
"Aku bersedia, subo!"

Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit.

Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah dan keadaan menjadi sunyi. Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, sedangkan yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga nampak tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer.

Akan tetapi gadis itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada diantara para kepala suku bangsa yang tidak setuju dan hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah dipersiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.

Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.

Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apalagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: