*

*

Ads

Senin, 26 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 179

Hati Sui Cin girang sekali bahwa ia telah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi dan para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Ia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek.

Ia bergerak diantara para perajurit dan mencari gurunya. Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, telah menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek dimana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.

Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi ia sudah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.

Tiba-tiba dari dalam gedung itu bermunculan serombongan orang yang langsung menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Beberapa orand perajurit pengawal Yelu Kim sudah roboh dalam segebrakan saja. Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang diperbantukan di Ceng-tek oleh Raja Iblis. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!

"Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang lihai!" katanya memperingatkan gurunya dan ia sendiri sudah menerjang maju dengan cepatnya.

Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo sudah menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, sedangkan Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.

"Wuuuuttt...!"

Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik dan mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka sambil tersenyum-senyum ia bertolak pinggang. Ia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu ia pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.

"Hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalupun kalian tidak menang melawanku, apalagi sekarang. Kalian sudah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"

Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi setelah gadis itu bicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka.

"Kiranya engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!"

Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin. Gadis ini sudah maklum bahwa nenek ini pandai menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka ia sudah siap siaga dan sekali ia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali dan jarum-jarum itu runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu!

Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula oleh menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo.

Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin. Akan tetapi, gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tubuhnya sudah berkelebatan diantara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan dan semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknva iapun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu gentar dan terdesak mundur.






Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang menyeramkan itu, yang memiliki kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak manusia, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula.

Adapun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, kini para datuk itu segera terdesak hebat.

Sui Cin tadinya ingin mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang memang nakal. Akan tetapi iapun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan ia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka iapun mempercepat gerakannya.

"Singggg...!"

Tiba-tiba Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena pada saat itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.

"Tingggg...!"

Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku di ujung cambuk itu mencelat dan membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat.

Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.

Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Ketika jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat ia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo.

Paku di ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.

"Cappp...! Aiiiiiihhh...!"

Nenek itu menjerit, paku menancap batok kepalanya dan melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo!

Dasar orang sesat, karena paku di ujung cambuk temannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi lalu terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya.

Sui Cin sudah tidak memperdulikan mereka lagi, langsung saja ia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal mengepung Tho-tee-kwi yang lihai.

Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih nampak gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walaupun ia dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, kini setelah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat!

Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa.

Tho-tee-kwi sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannyapun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu amblas dan memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!

Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka itu telah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil dan dengan mudah merekapun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walaupun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.

Setelah bertempur semalam suntuk, Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Akan tetapi, kini datanglah balabantuan dari San-hai-koan, yaitu pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, sedangkan pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.

Hebat bukan main pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar dan jumlah merekapun lebih banyak.

Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan benteng Ceng-tek yang pintu-pintunya rusak telah diperbaiki. Kini benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu.

Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim.

Bagaimanapun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali Ceng-tek yang telah mereka kuasai. Bagaimanapun juga, nenek itu mengambil keputusan untuk mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru dimana mereka akan dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.

Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini sudah bertekad membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan pasukan pemberontak dan iapun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang besar jumlahnya.

**** 180 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: