*

*

Ads

Selasa, 03 April 2018

Asmara Berdarah Jilid 181

Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada huburgannya dengan surat yang dibawanya.

"Kalian mau apa?" bentaknya marah.

"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.

"Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!"

Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya. Akan tetapi ia tidak mudah lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang amat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan gin-kangnya yang tinggi, ia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.

Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat munculnya dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat lari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri.

"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.

Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya, cepat gulungan kertas itu ia lemparkan ke arah nenek yang cepat menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan ia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.

Akan ketapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dilakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda.

Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim. Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda di punggungnya itu dan menariknya dari punggung.

Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil. Nenek ini terkejut dan membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah ia bahwa ia terkena senjata beracun yang amat ampuh.

Akan tetapi ia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung kota Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Ia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.

Para perajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat menerima gulungan kertas dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini,

"Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang pantas ini..." dan nenek yang gagah perkasa inipun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun.

Berita tentang kegagahan nenek Yelu Kim ini tersiar luas dan sampai puluhan tahun mendatangkan namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur dan dikagumi pula para pendekar selatan.

Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.

Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walaupun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah.

"Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya dan iapun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang ampuh sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Akan tetapi, yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah.

Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini itu.






Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika ia mengelak dari cengkeraman kedua tangan Raja Iblis, tiba-tiba ia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.

Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin ia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat.

Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh ke tangan pemerintah. Melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih mempunyai harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah.

Akan tetapi ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai. Oleh karena itu, dia lalu keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, terayata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat, dan mengorbankan nyawa sendiri dan kini tinggal gadis itu yang juga tidak mudah ditangkap!

Melihat betapa gadis itu malah menyerangnya dengan dahsyat, kakek seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dari dalam mulutnya dan diapun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.

"Plakk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Semakin kagumlah dia, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa telapak kedua tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat.

Dan pada saat itu, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan iapun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.

Pada saat itu, serombongan perajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis membentak mereka,

"Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"

Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang dan terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.

Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan ikut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek.

Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.

"Mereka menawan nona Sui Cin, kami tidak berani turun tangan."

"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Kemana mereka lari?"

"Ke sana...!"

Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, mempergunakan ilmu berlari cepat.

Ketika keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu.

Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak. Barulah setelah perang berakhir, Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah menyerang ke Ceng-tek, sehingga mereka merasa gembira sekali dan merekapun mengejar ke Ceng-tek.

Biarpun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi melihat Cia Sun dia segera bertanya,

"Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"

Cia Sun mengangguk.
"Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau kini berada diantara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."

"Apa...?" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Kemana ia dibawa lari?"

"Ke bukit itu, dan kita akan mencarinya!" kata Cia Sun dan diapun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.

"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar Ceng-tek!"

Dan diapun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.

Bukit itu memang gundul dan kering. Setelah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikitpun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang menegangkan hati dari jauh sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Disana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedang berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.

"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.

"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.

"Song-ko! Jangan mendekat...!"

Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.

Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter.

Tempat dimana Sui Cin diikat itu tidak dapat dijangkau dengan tangan dan untuk meghampiri atau menolongnya, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya.

Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apalagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya apabila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: