*

*

Ads

Minggu, 25 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 172

Ketika puluhan orang perajurit menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Ia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman temannya bergerak.

Memang pada saat yang sama, di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim, yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja.

Tiba-tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh Sui Cin sambil mengamuk itupun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota dan nampaklah api berkobar tinggi. Ternyata teman-teman yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada diantara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan.

Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan iapun mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah rumah orang dan lenyap dari kejaran para penjaga.

Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.

Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, dan dari delapan penjuru pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu. Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa.

Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang hujan panah dari luar tembok. Penyerbuan di waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya mempunyai sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat keadaan musuh.

Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung karena pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai dapat mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!

Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tak dapat disangkal adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung. Dan seperti ahli-ahli silat, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan dimana ilmu silat memegang peran yang menentukan kalah menang.

Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, pertahanan mereka akhirnya bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.

Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai berjasa besar. Kemudian iapun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Ceng-tek.

Oleh karena itu, ketika ia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam maupun di luar sudah mulai bergerak, ia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari.

Ketika ia mendengar akan hal Cin-ling-pai, ia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali. Benarkah orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sukar untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman? Dan biarpun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, namun merekapun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar yang lihai dan gagah perkasa. Mana mungkin kini pendekar itu bersama murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?

"Tidak mungkin...!" katanya pada diri sendiri, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan ketika ia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah.






Ketika dua orang itu berdiri di bawah penerangan, ia segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu!

Melihat dua orang musuh besar yang dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat ia melompat ke bawah sambil berseru marah,

"Jahanam-jahanam busuk hendak lari kemana kalian?"

Memang dua orang itu nampaknya sudah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.

Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya mencabut pedang dan ketika mengenal Sui Cin, merekapun marah dan tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin. Gadis ini cepat mengelak. Dua orang yang melihat betapa gadis ini bertangan kosong dan sendirian saja, mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.

Akan tetapi, Sui Cin telah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya cepat bagaikan beterbangan saja dan dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya.

Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Biarpun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.

Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu nampak gugup. Pertempuran telah memasuki kota dan mereka itu tergesa-gesa hendak melarikan diri. Munculnya Sui Cin merupakan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat melarikan diri. Maka mereka menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu.

Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah nampak Hui Song dan Siang Wi! Siang Wi sudah menggunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu.

Munculnya dua orang muda ini tentu saja amat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apalagi ketika melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itupun tidak boleh dipandang rendah.

"Lari...!"

Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya mendesak Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu mundur. Keduanya meloncat dan lari ke dalam gelap.

Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa girang sekali dapat bertemu disitu.

"Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu disini!" kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu.

Sui Cin membiarkan saja tangannya digenggam sejenak oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi ia melepaskan tangannya.

"Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"

"Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada disini," kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran.

Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda inipun sudah mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!

"Sejak tadi akupun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."

"Jadi engkau sudah tahu pula, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget. "Jadi... benarkah berita tentang..."

"Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Akupun tidak melihat adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."

"Tunggu...!"

Tubuh Hui Song berkelebat dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang perajurit pemberontak yang menggigil ketakutan namun tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah dan meminjam sebatang pedang dari Siang Wi, lalu menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.

"Hayo ceritakan dimana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song.

Orang itu sudah amat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu "diterbangkan" orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati diapun menjawab.

"Orang-orang Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..."

Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga perajurit itu pingsan.

"Bagus!" Hui Song berseru gembira.

"Biarpun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai kesini, ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!"

Sui Cin ikut pula dengan kakak beradik seperguruan itu dan merekapun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.

Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan kini mereka sudah ikut membantu pasukan untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara.

Karena hanya ada belasan orang penjaga, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar.

Para murid Cin-ling-pai gembira bukan main melihat munculnya Hui Song dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya amat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.

"Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?" tanyanya dengan alis berkerut.

"Sute... ah, sute... kami telah mengalami malapetaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-ling-pai tewas..."

"Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?"

Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.

"Aih, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."

"Apa...?"

Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, tewas pula dan beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subonya tewas.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: