*

*

Ads

Minggu, 25 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 171

Gerakan para pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu setia terhadap pemerintah, oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa San-hai-koan diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya.

Mungkin ada pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan lebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh.

Penyelidikan dilakukan dan terkejutlah kaisar dan para pembantunya ketika mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan diduduki, bahkan Ceng-tek juga sudah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.

Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, seorang panglima muda yang cerdik berkata,

"Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Dan pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Setelah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."

Kaisar dan para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.

Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan amat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka agar mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan.

Untuk bertempur, mereka itu tidak perlu dilatih lagi karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, biasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang mahir, pemanah-pemanah yang terlatih dan orang-orang yang berani mati.

Karena nampaknya pihak pemerintah selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak berapa kuat, Yelu Kim lalu merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apalagi setelah ia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak. Dianggapnya telah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidak sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak dimana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat.

Kekuatan Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan setelah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim lalu mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan kepada para pemberontak yang menduduki Ceng-tek. Kota itu akan diserbu dari delapan jurusan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, kemudian jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantu yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada saat para pembantu menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, maka mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting.

Kebakaran ini yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru, yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.

Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasatnya sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak perajurit pasukan suku bangsa utara!

Setelah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Diantara beberapa orang datuk sesat yang membantu dua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga diantara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu.

Empat orang tokoh lain tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!

Kaum pemberontak itu bukanlah pejuang-pejuang sejati, melainkan segerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, setelah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula.






Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Dan tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?

Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggu, baik dengan ucapan-ucapan ataupun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.

Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar.

Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, kalau sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.

Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang.

"Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya dan para penjaga yang jumlahnya selosin orang itupun keluar semua.

Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai.

Wanita muda itu agaknya tidak perduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuen ini keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar tadi.

"Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat.

Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka biarpun ia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.

"Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.

"Aih, kenapa terburu-buru amat?"

"Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."

"Siapa sih namamu, manis?"

"Berapa usiamu?"

"Dimana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"

Dengan sikap ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.

"Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.

"Ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kata kepala jaga sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.

"Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.

"Orang lain harus membayar uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm, engkau tahu sendiri, nona."

"Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.

Kepala jaga itu menyeringai lebar.
"Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar makanan, melainkan lapar wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."

"Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Sudah tak kusangka! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!" Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.

"Bresss...!"

Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya di belakangnya. Dia mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.

"Perempuan keparat! Tangkap dia...!"

Akan tetapi gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan diapun mengaduh-aduh kesakitan.

Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak,

"Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap ia hidup-hidup, kita permainkan ia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"

Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin! Seperti kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena ia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, ia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, ia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu diantara empat pintu gerbang pada saat penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui dan menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.

Andaikata para penjaga itu mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, menggunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andaikata mereka mempergunakan senjata tajam sekalipun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini.

Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini!

Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula.

Ia melihat datangnya puluhan orang perajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu sehingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itupun putus! Kini daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: