*

*

Ads

Minggu, 25 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 173

Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandai-pandai kita menghibur dan menasihatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu.

Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah kemana perginya segala nasihat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan. Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis dan mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka memerlukan pengorbanan.

Akan tetapi begitu mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Perlahan-lahan muka yang amat pucat tadi berobah merah oleh dendam.

"Siapa yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.

"Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.

Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju.

"Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"

Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat namun dengan cengkeraman yang mengandung teguran.

"Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song dan diapun menoleh, memandang kepada Sui Cin dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung di pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk. "Engkau benar, Cin-moi," bisiknya kembali dan sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya, memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.

"Semua ini adalah pengorbanan untuk perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, dimana ayahku?"

"Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu telah pergi meninggalkan Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak pernah kembali."

Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara itu masih terdengar ramai sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.

"Sebetulnya, apa yang telah terjadi? Mengapa kalian berada disini? Mengapa ayah berada disini? Ceritakan dengan singkat!"

"Suhu telah terbujuk dan membawa kami kesini untuk membantu pemberontak. Suhu tadinya mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni, untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Kemudian ternyata bahwa pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali dan suhu pergi ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dahulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas, kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."

"Kalau begitu mari kita keluar dan mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!"

Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."

"Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa kau katakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut.






Ia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suhengnya dan Sui Cin, dan bagaimanapun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.

"Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga bertanya dan memandang heran.

"Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."

"Kami tidak takut mati!"

Siang Wi membentak. Gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya sejak tadi dan mukanya masih basah air mata ketika ia menangisi kematian subonya tadi.

Sui Cin tersenyum melihat sikap Siang Wi itu, dan ia mengalihkan pandang matanya kepada Hui Song.

"Song-ko, engkau tahu bahwa semua orang gagah tidak takut mati. Akan tetapi menceburkan diri dalam pertempuran adalah perbuatan nekat atau membunuh diri. Harus diingat bahwa yang menyerbu Ceng-tek ini adalah barisan suku bangsa utara dan mereka sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai membantu pemberontak. Mereka itu tidak akan percaya semua alasan kita dan mereka tentu akan menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh pula. Dan kita berada di dalam kota benteng seperti sekumpulan burung dalam sangkar perangkap. Kalau kita sekarang menyerbu keluar dan ikut bertempur di dalam kota, akhirnya kita semua akan tewas..."

"Itulah resiko perjuangan! Kalau kau takut, tak perlu ikut dengan kami!" Siang Wi berseru.

"Sumoi, diamlah!" Hui Song mencela sumoinya. "Cin-moi, lanjutkan bicaramu."

Dia mulai tertarik. Dia sudah mengenal siapa Sui Cin, gadis perkasa yang suka bertualang dan memiliki keberanian yang amat besar, dan tidak mungkin gadis seperti Sui Cin takut bertempur.

Sui Cin tetap tersenyum, tidak marah melihat sikap Siang Wi.
"Sumoimu memang penuh semangat, Song-ko. Sudah kukatakan tadi bahwa kalau kita menceburkan diri dalam pertempuran, berarti kita nekat dan membunuh diri. Dan perjuangan bukanlah usaha nekat dan bunuh diri! Mati konyol karena kenekatan itu malah merugikan perjuangan dan tiada gunanya sama sekali. Lebih berguna kalau kita berlaku cerdik. Kenekatan bukah perbuatan gagah perkasa, bukan suatu keberanian melainkan kebodohan orang yang sudah putus asa dan kehilangan akal. Kalau masih bisa dicari jalan yang lebih baik, kenapa mesti nekat dan mati konyol?"

"Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan, Cin-moi?"

"Kita menyerbu keluar, akan tetapi bukan untuk menceburkan diri dalam pertempuran melawan pemberontak dan membantu suku bangsa utara, melainkan untuk membuka jalan darah dan meloloskan diri keluar dari kota benteng ini."

"Apa? Melarikan diri? Aku tidak mau menjadi pengecut!"

Siang Wi kembali berteriak. Hui Song memandang sumoinya dengan alis berkerut dan memberi isyarat kepadanya agar tidak banyak bicara.

"Melarikan diri bukan karena takut, melainkan dengan perhitungan. Kalau kita sudah lolos dari kota benteng ini, kita dapat menyusun kekuatan dan siasat baru untuk bertindak selanjutnya menghadapi perkembangan dan dapat menarik keuntungan sebesarnya bagi perjuangan kita. Apakah itu pengecut namanya? Dalam urusan besar, tidak boleh hanya mengandalkan perasaan dan nafsu dendam belaka, melainkan harus mempergunakan kecerdikan dan ketenangan."

Hui Song mengangguk-angguk.
"Benar sekali apa yang diucapkan Cin-moi. Kita semua tidak boleh membuang nyawa sia-sia belaka. Kita keluar dari kota ini. Aku harus mencari ayah di San-hai-koan dan kalau dapat berjumpa dengan ayah, baru kita tentukan langkah selanjutnya. Mari kita keluar, berpencar dan mencari jalan keluar, lalu berkumpul di sebelah selatan kota raja, di dalam hutan cemara itu!"

Siang Wi terpaksa tidak membantah perintah suhengnya dan merekapun lalu keluar dan menyerbu sambil berpencar, mencari jalan keluar dan merobohkan setiap orang perajurit pemberontak yang berani menghalang di depan mereka.

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya antara pasukan para suku bangsa utara dan pasukan pemberontak. Penyerbu sudah berhasil membobolkan pintu benteng dan kini pertempuran terjadi di mana-mana, di seluruh kota walaupun yang paling ramai terjadi di pintu-pintu gerbang yang kini semua telah dibuka secara paksa oleh pihak penyerbu.

Karena ada Sui Cin di samping mereka, orang-orang Cin-ling-pai hanya dihalangi oleh para perajurit pemberontak saja. Perajurit-perajurit suku bangsa utara semua mengenal Sui Cin sehingga gadis ini dapat mencegah para penyerbu itu menyerang orang-orang Cin-ling-pai. Dengan demikian, akhirnya mereka dapat lolos keluar dari kota benteng Ceng-tek walaupun jumlah mereka sudah berkurang pula.

Setibanya di dalam hutan cemara, Hui Song lalu mengajak Siang Wi dan para saudara lainnya untuk pergi ke San-hai-koan mencari ayahnya. Sui Cin tidak mau ikut.

"Song-ko, aku harus tinggal disini membantu subo Yelu Kim menghancurkan pemberontak."

Hui Song terbelalak.
"Apa? Dan engkau sudah tahu bahwa nenek itu mempunyai niat untuk menyerbu ke selatan! Apakah engkau akan membantu pemberontakan baru yang direncanakan oleh suku bangsa liar itu?"

Sui Cin tersenyum dan menggeleng kepala.
"Song-ko, engkau tentu tahu bahwa aku hanya mau membantu mereka menentang dan menyerbu para pemberontak yang dipimpin Raja Iblis. Kalau tiba saatnya mereka akan menentang pemerintah kita, tentu aku tidak akan membantu mereka, bahkan menentang mereka. Siapa tahu dengan halus aku dapat membujuk subo Yelu Kim untuk tidak melanjutkan rencananya yang gila itu. Nah, bukankah perjuangan dapat dilakukan dengan bermacam cara, pokoknya membela nusa dan bangsa?"

Hui Song merasa kecewa sekali harus berpisah lagi dari gadis yang dicintanya itu, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia harus mengeraskan hatinya dan mengesampingkan semua urusan dan perasaan pribadi. Dia harus mencari ayahnya, dan apa yang dikatakan Sui Cin tadi memang tepat. Gadis ini bukan orang sembarangan dan selalu memakai perhitungan yang matang. Mungkin apa yang mampu dilakukan Sui Cin pada waktu itu akan jauh lebih besar gunanya daripada apa yang mampu dilakukan oleh para pendekar lain. Maka diapun berpamit dan bersama rombongannya pemuda ini lalu meninggalkan Sui Cin.

Gadis inipun segera kembali ke induk pasukan dan bertemu dengan Yelu Kim membuat laporan. Nenek itu merasa girang sekali dan memuji-muji muridnya. Pertempuran masih terus berlangsung. Biarpun pihak penyerbu berhasil membobolkan pintu gerbang, namun kekuatan pasukan pemberontak juga cukup besar sehingga pertempuran itu berlangsung sampai semalam suntuk.

Dan pada keesokan harinya, setelah bertempur mati-matian, akhirnya pasukan Yelu Kim mulai mendesak pasukan pemberontak yang mempertahankan kota Ceng-tek, dan pasukan pemberontak mulai melarikan diri keluar kota.

Selagi pasukan Yelu Kim mengobrak-abrik kota dan siap mendudukinya, tiba-tiba datang pasukan bala-bantuan dari San-hai-koan dan kembali terjadi pertempuran yang hebat lagi. Sekali ini, pasukan Yelu Kim yang sudah menduduki benteng itu menjadi pihak yang bertahan, mempertahankan benteng itu, sedangkan barisan pemberontak yang datang dari San-hai-koan itu menjadi pihak penyerbu!

**** 173 ****

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: