*

*

Ads

Rabu, 14 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 140

"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andaikata nasib tidak mempertemukan aku dan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walaupun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang memiliki tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, tak mungkin ada diantara mereka yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam segebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."

Demikiahlah, ketika sayembara adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.

Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap diantara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggauta romborgan Mancu Timur? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita mengikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.

Seperti telah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang telah tewas bersama semua keluarganya itu. Ketika melarikan anak perempuan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui dan dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan orang ini melarikan Hui Lian.

Karena San-hai-koan telah jatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan suatu untuk menentang para pemberontak, Hui Song lalu pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar.

Pertemuan itu menjadi semakin penting saja setelah kini Raja Iblis dan kawan-kawannya sudah membuktikan pelaksanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan.

Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ.

Tentu saja Hui Song menjadi curiga. Dia tahu benar siapa adanya pemuda ini dan betapapun gagah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.

Pada hari itu juga girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini segera bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itupun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberontak.

"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tidak mungkin lagi kita melawan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat betapapun sakti mereka itu, dapat kita hadapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan kalah kuat. Akan tetapi setelah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita melawan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerintah kalau bertempur dengan mereka, di manapun juga."

Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang.

"Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."

Kakek gendut itu mengerutkan alisnya. Kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kini kehilangan kegembiraannya melihat betapa kaum pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya.

"Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."

"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh jahat yang berbahaya sekali."

"Akan tetapi engkau harus ingat bahwa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.

"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk seperti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biarpun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu Iblis, mana mungkin dia lalu berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."






Kakek itu mengangguk-angguk.
"Mungkin ada perebutan kekuasaan diantara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biarlah aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tugas baru yang amat penting."

Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tidak menyenangkan hatinya.

"Tugas apakah itu, suhu?"

"Setelah kini Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, bagi kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka. Akan tetapi ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Kalau mereka itu mau bergerak membantu dan menentang pemberontak, tentu akan mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Kalau ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang pemberontak, sungguh merupakan bantuan besar sekali kepada pemerintah."

"Akan tetapi, bukankah suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Raja Iblis dan para datuk sesat yang hendak mengacaukan negara."

"Benar, akan tetapi setelah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberontak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."

"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keadaan para suku bangsa di daerah ini."

Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke utara, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya, ia tersesat jalan menuju ke timur dan pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun kecil.

Hari telah menjelang senja ketika dia memasuki pintu gerbang sederhana dusun itu, akan tetapi yang membuat dia merasa heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tidak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu. Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah diantara rumah-rumah kecil yang agaknya dibangun secara darurat di dusun itu.

Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimanapun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam dapat menangkap gerakan-gerakan dan dia merasa yakin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!

Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan diapun berdiri di tengah-tengah lapangan diantara rumah-rumah itu, dimana ia melihat bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Disini dia berdiri tegak, memandang ke empat penjuru, ke arah rumah-rumah yang sunyi itu, dan diapun berkata dengan dengan suara lantang.

"Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"

Tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu makin rapat sehingga dia bersikap waspada.

Tiba-tiba saja, seperti yang sudah diduganya, terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya dan tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!

"Aku bukan penjahat...!"

Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah meluncur ke arah dirinya. Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatangpun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek, terkena anak panah.

Begitu anak panah itu dapat diruntuhkannya semua, tiba-tiba nampak sinar hitam meluncur dan dia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang berbentuk laso pada ujungnya. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat cepatnya telah mengalungi lehernya, bahkan kedua tangannya juga kena dibelenggu.

Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir dan agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak- peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur.

Setelah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang kepadanya dengan penuh kemarahan!

Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak-tombak, golok dan juga anak panah, semua diacungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya.

Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua itu berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini tiga puluh tahun lebih, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal. Laki-laki ini maju dan dia diiringkan oleh belasan orang wanita yang kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka dari lima belas sampai dua puluh lima tahun!

Laki-laki bermantel bulu dan bartopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, namun siap untuk mengeroyok Hui Song andaikata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.

Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya.

Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Laki-laki bertopi inipun nampak tampan dan bersih, dan wanita-wanita yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.

"Aha, kiranya engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sukarnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"

Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang diantara para wanita itu, yang termuda dan paling manis tiba-tiba melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.

"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.

"Plak! Plak!"

Dua kali pipi Hui Song ditamparnya dan laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itupun mundur sambil terisak.

"Ia adalah kakak gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu menyusahkan hati seorang gadis semanis ia? Padahal, kalau engkau menjadi orang baik-baik, banyak kiranya gadis yang akan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa...!"

Biarpun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan. Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!

"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?"

Dia berseru beberapa kali. Akan tetapi agaknya yang mengerti bahasanya hanyalah pria bertopi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya dan keadaan menjadi berisik.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: