*

*

Ads

Rabu, 14 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 138

Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-masing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan mengajukan seorang jagoan saja.

Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas.

Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diperkenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Peraturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau mempergunakan kecurangan dalam memperebutkan kedudukan itu.

Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap sebagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapapun juga, ia merasa ngeri juga. Pertandingan itu, walaupun dilaksanakan di antara sahabat-sahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing tidak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat terakhir! Pertandingan yang keras dan kejam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!

Tak lama kemudian, perundingan itupun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-masing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas dengan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh.

Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula diantara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja.

Diantara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu diantara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.

Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang diantara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengan memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang.

Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!

Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada disitu, bahkan menjadi jagoan dari satu diantara kelompok suku dari utara? Biarpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis!

Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada disitu? Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Cin lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada disitu sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya diantara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!

Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap diantara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira.

Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada disitu, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!

Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin diantara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti diantara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?






Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada disitu, diantara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir disitu, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada disitu dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang diantara jagoan yang terpilih?

Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis.

Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang dimana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya diantara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.

Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan.

Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berteriak-teriak dalam usaha mereka menyerang biruang itu dan menyelamatkan anak laki-laki itu.

Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua serangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya.

Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali dalam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.

Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu.

Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu.

Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.

Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang diantara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang.

Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.

"Dukkk...!"

Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik hebat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening karena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan menerkam lagi, kini gerakannya ngawur karena matanya masih berkunang.

Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.

"Krakkk!"

Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat dekat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluarkan darah!

Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang diantara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.

"Orang muda, engkau telah menyelamatkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancar.

Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.

Ci Kang melihat bahwa luka di pundak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk.

"Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana.

Jawaban ini agaknya membuat semua orang bergembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap gagah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.

"Orang muda, mari ikut bersama kami pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.

Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya.
"Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ.

Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahuluinya lalu menghadang di depannya.

"Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.

Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut,
"Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."

Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut.
"Apa maksudmu?"

"Orang muda, anak yang kau selamatkan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terluka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: