*

*

Ads

Rabu, 14 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 136

Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu.

Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.

Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Diantara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya.

Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.

Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti biasa terjadi di seluruh dunia ini diantara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan.

Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.

Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh diantara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan diantara mereka.

Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan yang sudah hilang di selatan.

Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkitkan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol?

Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan diantara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan.

Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak berhasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya!

Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandaian yang dapat ia pergunakan untuk mencapai hasil baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru diantara para kepala suku itu.

Nenek itu berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari penyakit kehilangan ingatan itu.

Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka" kembali ingatannya.

"Aihhh...!" Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkaupun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"






Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik ketika ia tersenyum.
"Anak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lupa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."

Sui Cin membelalakkan matanya.
"Benarkah itu? Ah, ya, teringat olehku sekarang. Tentu timpukan batu yang mengenai belakang kepalaku itu yang membuatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"

Nenek itu menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang menolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"

"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ah, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat dan mengerikan semua pengalamanku selama ini dan akhirnya lo-cianpwe yang dapat menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."

"Hushh, sudahlah. Diantara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu, engkau telah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang, ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."

"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..."

Sui Cin teringat bahwa ia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka ia meragu. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.

Akan tetapi nenek itu tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah.

"Sungguh para dewa telah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"

Sui Cin terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah ia mengenal nenek Yelu Kim.

"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.

Senyum nenek ini melebar.
"Tidak sukar mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu lihai dan selama engkau berada disini, di dalam latihan engkau memainkan beberapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya kukira engkau murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"

Sui Cin mengangguk.
"Locianpwe sungguh cerdik sekali." Ia memuji.

"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin."

Dan kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek itu. Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari didalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa biarpun disitu tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu indah sekali dan suara nyanyian nenek itupun merdu.

"Locianpwe..."

"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.

"Subo," akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa.

Sebenarnya, kalau ia berada dalam keadann sadar, ia tidak akan mau begitu saja berjanji menjadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi ia sudah berjanji dan ia tidak akan menarik kembali apa yang telah dijanjikan.

"Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"

"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"

Sui Cin menggeleng kepala dan menyesal mengapa ia tidak tahu akan hal itu karena ia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.

"Aih, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."

"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.

"Sayang sekali. Nah, dengarlah baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasihat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai disamping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah pengatur semua siasat yang membuat pemerintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."

"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.

Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu nampak diangkat penuh kebanggaan.

"Dan beliau tidak malu mempunyai keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat aku ini, aku keturunannya, walaupun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasihat agung yang selalu mereka segani dan taati!"

Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi diantara suku bangsa utara.

"Subo telah menyelamatkan aku, dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebenarnya bantuan apakah yang dapat kulakukan? Bukankah sebagai seorang penasihat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi bantuanku?"

"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat yang liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang-kadang memperlihatkan kekerasan mereka dan agaknya mereka itu akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku mampu mengendalikan mereka. Kini timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."

Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hendak memberontakpun diketahuinya!

"Apakah yang subo ketahui tentang hal itu?"

Nenek itu tersenyum bangga.
"Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"

"Selain itu?" Sui Cin mendesak.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: