*

*

Ads

Sabtu, 10 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 119

Hui Song terkejut bukan main. Dia meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berobah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!

"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu diantara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.

"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!"

Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan diapun terguling roboh dan berkelojotan. Kiranya diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.

"Ciang-suheng...!"

Hui Song berseru, kaget dan juga girang. Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, laki-laki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, menolehpun tidak, bahkan berlari semakin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkah hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suhengnya itu kini memiliki kepandaian tinggi.

Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut sekali melihat betapa kawan mereka tewas secara tidak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut "suheng" kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apalagi suhengnya! Orang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari!

Melihat ini, Hui Song mengejar,
"Keparat, kalian hendak lari kemana?" bentaknya dan diapun mengerahkan gin-kangnya melakukan pengejaran.

Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.

"Iblis tua, engkau hendak lari kemana?" Hui Song membentak.

Karena maklum bahwa lari tiada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia membalik dan menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Prokkk...!"

Guci arak itu pecah berantakan dan isinya setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana dan terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung.






Melihat senjatanya yang amat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lalu lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song!

Hebat bukan main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya memang sudah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.

Hui Song belum tahu sampai dimana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka diapun tidak mau sembrono menerima serudukan itu begitu saja. Cepat dia miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanannya, mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di belakang kepala botak besar itu.

"Ngekkk...!"

Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja, kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dan matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.

Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejar? Siang Hwa ataukah bekas suhengnya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihainya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, dia akan celaka. Bagaimanapun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu. Dan diapun mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah larinya Ciang Su Kiat.

Akan tetapi, iapun kehilangan jejak bekas suhengnya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Maka diapun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu.

Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbang dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.

Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur sekeluarganya telah tewas dalam gedungnya yang terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun dan pembersihan masih terus dilakukan. Siapapun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh.

Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan jatuhnya San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepada Bhe-ciangkun yang kini menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas.

Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerintahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.

**** 119 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: