*

*

Ads

Sabtu, 10 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 120

Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu.

Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekerasan. Sinar matanya tajam mencorong dan membayangkan kekerasan hati, walaupun terdapat kelembutan dan kejujuran, terutama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.

Pemuda tinggi tegap yang gagah perkasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi, datuk sesat ini tewas di tangan Ratu Iblis.

Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan paham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau dibunuh.

Kemudian, pemuda ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti yang berpakaian pengemis itu, dan digembleng sebagai muridnya. Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini berkembang, bahkan Ciu-sian Lo-kai, seperti telah diadakannya perjanjian dan perlombaan mendidik murid dengan Go-bi San-jin, telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu.

Maka, biarpun Ci Kang terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan diantara teman-teman ayahnya itu. Jiwa kependekerannya semakin bangkit dan biarpun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukannya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.

Setelah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya itu memberi tahu kepadanya bahwa di tempat ini akan diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan tentang bangkitnya para datuk sesat yang hendak mengadakan gerakan bemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.

Berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya akan tetapi bagaimanapun juga, dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biarpun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Sen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara.

Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat ketika terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san.

Dia hanya menarik napas panjang, tahu bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat daripada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri. Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan karena dendam terhadap kematian ayahnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andaikata ayahnya masih hidup sekalipun, dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.

Ketika pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi. Akan tetapi, akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya menjadi sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan para pedagang atau mereka yang sering berlalu-lalang melalui Tembok Besar.

Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biarpun dia dahulu selalu bergaul dengan datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka.

Akan tetapi kini, dia datang ke tempat itu sebagai seorang pendekar yang menghadiri pertemuan antara kaum pendekar! Hatinya merasa gembira sekali karena dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya akan berkumpul di tempat ini dan diantara mereka terdapat orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuannya.






Ketika dia tiba di tempat itu, dia pertama-tama melihat serombongan orang gagah, terdiri dari tujuh orang lima pria dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan sikap mereka nampak gagah sekali dengan pedang di punggung mereka.

Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang menghadiri pula pertemuan maka diapun menghampiri mereka. Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah diantara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang.

Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.

"Selamat berjumpa, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."

Seorang diantara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua diantara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab,

"Selamat bertemu, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"

Ci Kang tersenyum ramah.
"Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"

Si jangkung kurus memandang tajam.
"Pertemuan itu akan diadakan sebulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang, melihat keadaan."

"Benarkah? Ah, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."

"Mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari, saudara Siangkoan Ci Kang, mari kita perkenalkan."

Tujuh orang itu lalu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.

"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"

"Dia tokoh sesat!"

Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai dan menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan. Ci Kang terkejut dan memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang diantara para pendekar yang dahulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pesta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Pemuda ini selalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ah, benar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!

Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul disitu. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak dapat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak dan diapun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang dimana dia bertemu dengan beberapa orang pendekar dan dia bercerita tentang gerakan para pemberontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.

"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" Hui Song berseru lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.

Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, walaupun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung.

"Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."

Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis.

Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul disitu. Akan tetapi, Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin dulu apakah benar pemuda ini yang pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan beberapa tahun yang lalu.

"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"

"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.

"Hemm, bukankah engkau pernah beberapa kali menggunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak lagi.

Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia mengangguk.
"Benar..."

"Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!"

Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyambar ke arah muka Siangkoan Ci Kang.

Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat betapa serangan Hui Song demikian hebatnya, diapun menggerakkan lengan menangkis.

"Dukkk...!"

Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh.

Sementara itu, para pendekar yang berada di situ semua mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi. Tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apalagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai putera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka semua memusuhinya, dan serentak mereka lalu mencabut senjata dan menerjang maju.

Dihujani senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana-sini. Dia tahu bahwa percuma saja membantah dan bicara untuk membersihkan dirinya dan tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini, maka sambil mengeluh panjang dia lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.

"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tidak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali meninggalkan benteng itu.

Hui Song tidak melakukan pengejaran dan para pendekar itupun tidak karena mereka maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran kalau dia mau, akan tetapi dia teringat bahwa bagaimanapun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyelamatkan Sui Cin dan biarlah kini dia berlaku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: