*

*

Ads

Sabtu, 10 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 118

"Diamlah, adik yang manis, kita keluar untuk menyelamatkanmu. Marilah!"

Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya.

"Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di belakangku. Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu," katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan anak panahnya, lalu membedal kudanya keluar.

Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan puteri sang gubernur, maka mereka melindunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan.

Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya diantara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-kadang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang. Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung.

Hui Song melompati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya.

Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan.

Akan tetapi tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas punggung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik diantara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan diri.

Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri disitu, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tak ketinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri disitu dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

"Hemm, kembali si tampan gagah putera ketua Cin-ling-pai mencampuri urusan kita," kata Siang Hwa biarpun suaranya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan perasaan kagum dan sukanya kepada pendekar yang tampan dan gagah itu.

"Ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!"

Kang-thouw Lo-mo tertawa dan Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gagal, kini sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.

Hui Lian yang berada dalam gendongan Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.

"Hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pengasuh anak-anak."

Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip di punggungnya dan suaranya menjadi keren dan ganas ketika ia berkata,

"Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."

Kang-thouw Lo-mo juga sudah mengambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini menghadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Guba Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam guha dahulu itu. Sekali ini dia harus dapat membasmi tiga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka, diapun segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tidak jauh dari situ.

"Adik yang baik, kau duduklah disini dulu, dan jangan pergi ke manapun," katanya.






Anak itu berhenti menangis dan duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-olah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang kokoh kuat itu. Setelah melepaskan anak itu, Hui Song merasa lega dan dia lalu dengan senyum di bibir, sikapnya tenang dan tabah sekali, menghampiri tiga orang musuh yang sudah siap mengeroyoknya itu.

"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian ini tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi kepadaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!"

Pendekar ini memang tidak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi seorang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosongpun tidak kurang berbahayanya daripada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.

Tiga orang lawan yang sudah memegang senjata andalan mereka masing-masing itu melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, diam-diam merasa gentar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apalagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Dan merekapun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing.

Namun, gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apalagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Kalau dia teringat kepada gadis yang menjadi pujaan hatinya, Sui Cin, yang sekarang entah berada dimana, yang mengalami gegar otak dan kehilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas ketika terkena sambitan batu yang dilontarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, dia merasa sakit hati sekali.

Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permukaan bumi berarti mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.

"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!"

Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya. Gerakannya memang cepat dan lengannya yang panjang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patukan maut. Namun, dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.

"Dess...!"

Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pada saat itu nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa telah menyambar ke arah leher Hui Song.

"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa dan pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar lewat karena dengan mudah saja Hui Song dapat mengelak dengan merendahkan dirinya sedangkan kaki kanan pemuda itu sudah meluncur ke kanan, menghantam ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk...!"

Kembali kakek itu terhuyung. Terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu.

Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song telah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu bertambah kuat saja.

Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan ketiga orang pengeroyoknya. Biarpun tiga orang lawannya mempergunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua serangan, atau kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata lawan.

Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, membuat pedangya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja.

Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan diapun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak tembus oleh bacokan senjata tajam. Karena ini, biarpun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu.

Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan amat kuat itu membingungkan tiga orang lawannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah seluruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.

Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring dan ada tiga sinar berkelebat terbang ke arah Hui Song. Itulah tiga batang pisau terbang yang dilepasnya kepada pemuda itu.

"Tring-tring-tringg...!"

Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan dan tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya.

Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakaian tosu itu, walaupun dia mencoba mengelak dengan miringkan tubuhnya.

"Dess...!"

Pinggulnya disambar kaki Hui Song dan kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri sekali dan ketika dia bangkit bangun dan berjalan, langkahnya terpincang-pincang. Hanya kemarahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.

Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berkelahi terlalu lama karena kalau dia tidak cepat merobohkan mereka ini mungkin teman-teman mereka akan datang atau andaipun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya kalau sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.

Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi dadanya. Pada saat guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.

"Bunggg...!"

Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh. Akan tetapi, ternyata dia juga memiliki kekebalan bukan hanya di kepalanya, melainkan juga di perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu tidak terluka hanya tubuhnya saja yang terlempar dan hanya terasa nyeri karena babak-belur saja terguling-guling.

Kakek berbaju hwesio ini bangkit dan mukanya berobah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.

Sementara itu, melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan ia menerjang ke depan bagaikan kesetanan dan tiba-tiba tangan kirinya mengebutkan saputangan merah yang mengandung racun pembius itu.

Akan tetapi sekali ini, Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan dan buyarlah debu itu, bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.

"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin,
"Cia Hui Song, hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: