*

*

Ads

Jumat, 23 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 083

Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain guha yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam.

Guha itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih diantara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai guha dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa guha ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah guha di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.

Kalau orang memasuki guha itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya agak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut berge-rakgerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat.

Anehnya, pemuda itu memakai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pada kedua kaki dan lengannya, juga pemuda ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin.

Dapat dibayangkan beratnya latihan ini. Namun, pemuda yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan untuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus bermain silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.

Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.

Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sin-kang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyeilmuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya.

Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna daripada tiga tahun yang lalu!

"Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" Tiba-tiba kakek itu berkata.

"Terakhir kali? Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi.

Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.

"Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal disini?" tanya kakek gendut.

"Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada disini..."

"Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada disini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."






Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat daripada yang dikehendakinya.

Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.

Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.
"Cukuplah, Hui Song, kesinilah aku mau bicara."

Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu.

"Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.

Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."

Mendergar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut.

Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.

"Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.

Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
"Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."

"Kalau begitu, locianpwe tahu dimana Wu-yi Lo-jin membawanya dan dimana saya dapat menjumpai Sui Cin?"

"Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja disana dan kita semua akan bertemu disana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."

"Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"

"Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."

Hui Song menjadi girang sekali.
"Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."

"Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-ling-pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jit-ong dan sekutunya."

"Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."

Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan guha di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara.

Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam guha, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu.

Yang amat menggembirakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.

**** 083 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: