*

*

Ads

Jumat, 23 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 084

Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.

Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu gin-kang dara itu.

"Mari kita ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.

Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.

"Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"

Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu gin-kangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri.

Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak dimana kakek itu mengasingkan diri selama puluhan tahun. Tidak sembarang orang dapat mencapai puncak ini karena tidak ada jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Hanya orang-orang yang memiliki gin-kang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.

Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sin-kang dan khi-kang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tenaga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan gin-kang.

Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di bawah bimbingan dan pengawasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, Sui Cin telah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri.

Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam. Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.

Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wu-yi Lo-jin.

"Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan gin-kang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?"

Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah daripada tepi tebing sebelah sini.

Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran daripada takut.
"Meloncat ke seberang sana? Ah, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"

Kakek itu tertawa.
"Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih gin-kang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kau lihat lubang-lubang di tepi tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."

Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana.






Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.

"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tall ini!"

Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang.

Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.

"Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"

Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas.

Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja.

Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.

Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah data itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.

"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki gin-kang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit-ong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."

"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan.

Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.

"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul disana."

Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah.

Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.

"Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."

"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka dapat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!"

"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit-ong itu masih paman dari ibu."

Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai.

Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdapat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan diantara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.

"Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan pulangnya."

Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya. Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah kemana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kembali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar.

Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan, kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain.

Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit-ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su-ong!

Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.

**** 084 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: