*

*

Ads

Jumat, 23 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 082

Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal gin-kang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."

"Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan suara sungguh-sungguh.

"Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Merekalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."

"Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil menatap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."

Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang.
"Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa kakek inipun tidak mau dianggap guru olehnya.

"Akan tetapi, tidak mudah belajar dariku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus belajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh meninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu daripada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."

Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang sejak kecil digembleng untuk menjadi pendekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran dalam belajar ilmu.

"Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu gin-kang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhannya!" kata Ciu-sian.

Sui Cin tersenyum.
"Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus belajar dari kalian?"

"Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya sudah cukup untuk menghadapi lawan seperti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-ibils itu memiliki sin-kang dan gin-kang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu tiga tahun lagi mereka akan mempersiapkan pemberontakan mereka, maka sebelum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.

"Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, kalau dimatangkan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."

Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpaksa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga tahun!

"Cin-moi..." katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.

"Bagaimana Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"

"Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"






Dara itu tersenyum.
"Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."

"Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."

"Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendengar ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.

"Benarkah itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"

Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya?

"Tentu saja! Kenapa tidak?"

"Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi...!"

Sui Cin tertawa,
"Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."

Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu.
"Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."

"Ah, apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."

"Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya?, Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cinta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, aku cinta padamu!"

Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menundukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seorang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan merasa geli dan ia tidak dapat menahan ketawanya. Ia tertawa bebas, seperti biasanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.

"Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"

"Habis, engkau lucu sih!"

"Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"

"Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"

"Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."

"Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang tekun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Pula, urusan perjodohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."

Sui Cin teringat akan usul orang tuanya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce-kiang di Ning-po itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song daripada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa saja.

"Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkaupun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkaupun cinta padaku..."

Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song.

"Eh, kenapa engkau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan alis berkerut.

"Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang disitu dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."

"Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun sama saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"

"Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"

Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song tidak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cinta. Dia harus bersabar.

Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri mengikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.

**** 082 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: