*

*

Ads

Kamis, 22 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 079

Kakek raksasa itu membalik dan memutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah lenyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan gin-kangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul seekor capung dengan tongkatnya saja, memukul ke sana ke mari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian cepat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.

"Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!"

Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, membuat raksasa pemakan bangkai itu semakin marah. Dia adalah seorang diantara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya memiliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas seperti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.

Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka diantara alis.

Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba.

Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, menarik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.

"Dukk...!"

Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah. Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!

Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai terengah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang secara bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun juga.

Ketika Ciu-sian yang selalu mempermainkan lawan itu melihat betapa temannya telah merobohkan musuh, diapun cepat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.

"Krakk!" Robohlah raksasa yang menjadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan!

Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jit-ong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!

"Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit-ong ya?" Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.

"Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!" kata Siang-kiang Lo-jin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.

"Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia membunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membunuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"

"Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?"






Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suaminya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan mata mencorong seperti mengeluarkan api.

"Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentag kejahatan. Seperti tidak tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu.

Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jit-ong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdangar bentakannya halus namun berwibawa,

"Berlututlah kalian semua menghormati Tongkat Suci!"

Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menyerang dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit-ong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.

"Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?" terdangar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong berkata kepada mereka.

Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil mereka itu berkata dengan lirih,

"Kami tidak berani..."

Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram.

"Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!" Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali.

Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukurannya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit-ong, nampak kehitaman. Ia berbisik ke dekat telinga Hui Song.

"Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk merampas tongkat iblis itu dari tangannya."

Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik jubah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.

"Tahan dulu...!"

Dengan gerakan yang amat gesit karena memang gin-kang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.

"Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?" bentak Ratu Iblis marah.

Hui Song tidak dapat menjawab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, hanya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.

"Aku mau mengatakan bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangejan Jit-ong ini palsu!"

Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbelalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya?

Pangeran Toan Jit-ong tentu saja marah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu berkata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi,

"Anak perempuan gila, apa yang kau katakan itu? Siapakah kamu?"

"Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su-ong...!" Sui Cin memperkenalkan diri.

"Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai! Bunuh mereka!"

Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.

"Tenang!" Tiba-tiba Pangeran Toan Jit-ong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin. "Mendiang Toan Su-ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya? Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"

Sui Cin merasa mendapat hati dan iapun berkata dengan suara lantang.
"Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang menerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tongkat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang asli berada bersamaku!"

Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jit-ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.

"Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang asli! Tongkat Sakti yang asli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.

"Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su-ong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana asli. Yang asli berada di tanganku," katanya dengan lantang.

Pangeran Toan Jit-ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung.

"Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" bentaknya.

"Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk mengelabuhi begini banyak orang!"

Tadinya pangeran tua iti ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya? Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.

"Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan tongkat hitam itu.

Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: