*

*

Ads

Kamis, 22 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 080

"Hei, kembalikan tongkatku!"

Pangeran Toan Jit-ong terkejut sekaii dan marah, tangannya bergerak hendak mengejar. Akan tetapi kini Hui Song baru mengerti siasat apakah yang dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pangeran itu hendak mengejar, dia lalu membentak.

"Perlahan dulu!"

Dan tannganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari tangannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.

Melihat serangan yang tenaga sin-kangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jit-ong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.

"Krekkk...!"

Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jit-ong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.

"Plakk...!"

Sebuah tamparan yang aneh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup membuatnya terpelanting. Sementara itu, Ratu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.

"Berikan tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.

"Hihhh...!"

Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.

"Berani kau melawan tongkat suci ini?" bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi.

Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.

"Hayo kalian semua berlutut!" Bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"

Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung.

Sementara itu, Pangeran Toan Jit-ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru,

"Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jit-ong...!"

Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata,

"Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"

Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.

"Krakkk...!"

Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.






"Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua? Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit-ong! Bantulah aku dan Hui Song!"

Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini mereka tidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan?

Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.

"Hemm...!"

Pangeran Toan Jit-ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.

"Mari...!" serunya kepada Hui Song.

Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.

"Lari...!" teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.

Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar!

Gerakan Toan Jit-ong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja mereka dapat disusul!

"Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!"

Teriak Ciu-sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.

"Toan Jit-ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!"

Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.

"Tongkatku...!"

Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan. Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang.

Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau Ciu-sian yang sengaja mengambil jalan berlika-liku agar tidak dapat disusul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun mereka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbahaya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat.

Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian sibuk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.

"Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam tadi sungguh merupakan bagian riwayat hidupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua diancam cambuk. Ha-ha-ha!"

Ciu-sian juga tertawa.
"Masih mending daripada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kau kira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"

"Ha-ha, memang mereka ini mengagumkan sekali! Dan ilmu silat merekapun hebat. Aku ingin sekali mengambil mereka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"

"Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid? Mana ada aturan macam ini?"

Kakek gendut menghentikan senyumnya, menyeringai dan alisnya berkerut.
"Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"

"Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri arakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid? Nanti dulu, ya!"

"Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?" bentak si kakek gendut, kini melotot.

"Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!"

Si kakek katai membantah, ngotot. Keduanya kini berdiri berhadapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya.

Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang.

Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.

"Kau mau apa?" bentak si gendut.

"Kau mau apa?" bentak si katai.

"Heiii! Kalian punya apa? Aku sih apa-apa mau!" tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu.

Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang.

"Punya apa? Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.

"Aku tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.

Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan.
"Hi-hik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"

"Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.

"Tidak bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.

"Aku dulu!"

"Aku dulu!"

Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.

"Eiit, eiit... harap ingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!" kata Sui Cin.

"Eh, siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: