*

*

Ads

Kamis, 22 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 078

Cap-sha-kui kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas. Mereka adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai dan ditakuti, akan tetapi kini mereka maklum bahwa berhadapan dengan dua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah, tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!

"Kami bersedia!" Serentak mereka menjawab!

Nenek itu kini menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura ia berkata,

"Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."

Pangeran Toan Jit-ong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut putih ini. Tadi ia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jit-ong. Hal ini mengingatkan ia akan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa jantungnya berdebar dan ia bergidik.

Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan ibunya itupun she Toan! Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang telah meninggal, bernama Pangeran Toan Su-ong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga antara kakeknya, Toan Su-ong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong ini. Kalau benar demikian, berarti Raja Iblis masih kakeknya juga! Kakek paman! Mengerikan, pikirnya.

Dengan gerakan perlahan dan tenang, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya. Sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali.

Dengan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas bersikap hormat pula dan menundukkan muka menghadap ke arah tongkat hitam itu!

"Kalian semua lihat baik-baik. Tongkat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarangpun masih dianggap suci dan dapat membuka semua pintu di istana kaisar! Pemegang tongkat suci ini berhak menasihati dan menegur kaisar yang manapun juga. Tongkat suci inipun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapapun yang bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu, kalian harus menganggap tongkat ini sebagai tongkat suci dan disaksikan oleh tongkat suci ini kalian diminta bersumpah. Bersediakah kalian?"

"Kami bersedia!"

Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan Ratu Iblis mengenai tongkat hitam itu.

"Nah, ikuti kata-kataku!" kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh belasan orang itu dengan serempak.

"Kami bersumpah, bahwa mulai saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya menjadi Raja dan Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua perintahnya, dan kami siap mengorbankan nyawa untuk membela Tongkat Suci! Kami bersama seluruh murid dan keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah kami disaksikan oleh tongkat suci dan kesaktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"

Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan? Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu seakan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!

Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.

"Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin merasa terlalu tinggi untuk bicara sendiri kepada para datuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.






"Toan Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, dipermainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ong-ya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"

"Pemberontakan...?" terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.

"Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Suci, Toan Ong-ya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk dilatih bersama oleh Ong-ya sendiri."

"Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengirim balatentara untuk menghancurkan kita!" kata pula seorang datuk.

"Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke benteng yang sudah tersedia. Ong-ya memilih benteng di luar tembok besar, di utara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan markas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."

"Ah, aku tahu..."

"Aku tahu tempat itu!"

"Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"

Mendengar suara-suara itu, nenek berambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali.

"Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menjadi markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di istana. Pasukan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."

Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kembali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon diganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah mereka yang biasanya gembira itu nampak gelisah sekali.

"Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"

"Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."

"Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada permulaan musim semi, pada hari Tahun Baru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"

Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu. Kalau diberi waktu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-kawan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang selalu dimusuhi para pendekar dan selalu dikejar pasukan pemerintah.

Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti itu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Toan Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil merebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras,
"Tidak! Tidak boleh begitu! Pangeran Toan tidak boleh memberontak terhadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" berseru demikian adalah Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas.

Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi disitu, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan.

Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit-ong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan itu, dia segera melompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat persembunyian mereka tak dapat dipertahankan lagi, maka tidak ada lain jalan baginya kecuali keluar dan mendukung pendapat temannya.

"Benar, Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pemberontakan hanya mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"

Melihat munculnya dua orang ini, Pangeran Toan Jit-ong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sendiri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telunjuknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak,

"Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"

Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaannya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya menyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.

"Grrrrr... mampuslah!"

Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangannnya yang besar-besar berbulu adalah perut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam dengan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu!

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!

"Bukk! Bung...!"

Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditabuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya.

Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai, maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!

Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya.

Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.

"Heh-heh-heh, aku di sini!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: