*

*

Ads

Selasa, 20 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 069

"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, aku akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk lehernya dan Su-tikoan mampu lagi bicara.

"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... dimana pengantinku...?"

"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri kelima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, agar tidak terjatuh ke tangan srigala tua macam engkau. Nah, cepat keluarkan uang seratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan menggunakan harta dan kekuasaan!"

Tubuh pembesar itu menggigil.
"Baik... baik..." katanya akan tetapi dari pandang matanya yang berkilat tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Juga Sui Cin dapat menduga hal ini maka gadis itupun menghardik.

"Engkau adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang sepatutnya menjadi pelindung rakyat, menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi, engkau lupa bahwa engkaupun seorang manusia biasa, seorang diantara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau suka berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, menggunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."

Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.

"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.

"Baik... baik...!"

Kakek gendut itu lalu menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba pembesar itu membuka daun jendela dan berteriak,

"Pengawal...! Toloonggg...!"

"Keparat!"

Hui Song berseru dan tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.

"Brukk...!"

Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah, karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.

"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.

Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin mengambil emas dan perak itu, membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat dalam lemari.

Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sudah berjaga-jaga di pintu, tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.

"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan merekapun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.

Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu telah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa telah dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka.

Biarpun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh. Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan bertemu dengan lengan-lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apalagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan segerombolan tikus.






Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru.
"Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"

"Heh-heh-heh, kalian sudah selesai?"

Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang.

Gegerlah gedung pembesar Su itu, apalagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengucur darah yang melumuri seluruh mukanya.

Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu luka-luka parah pada mukanya. Akan tetapi setelah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya yang remuk. Biarpun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak dan membuat mukanya buruk menakutkan.

Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu. Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.

Setelah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin dan kakek itu berlari kembali ke dalam hutan dimana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Seperti dapat kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua.

Mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang penyelamat mereka itu dan akhirnya mereka berdua dinasihatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.

Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, senang hatiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."

"Ahh, engkau terlalu merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kamipun engkau tentu akan mampu membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.

"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."

"Locianpwe telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."

"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."

"Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong dan lapar bukan main!"

"Jangan khawatir, kek. Aku akan masak makanan untukmu asal engkau suka memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.

"Kau bisa masak?"

Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri dan bertolak pinggang.

"Jangan memandang rendah orang sebelum mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang akan membuat lidahmu menari-nari!"

"Ibumu? Aih, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"

"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"

"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan aku sekarang menjadi seorang kakek, maka apalagi namaku, kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha!"

"Huh, engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru masak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."

"Ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Kalau benar-benar masakanmu lebih enak daripada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"

"Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"

"Tentu saja selamanya aku tidak pernah bohong."

"Ah, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."

"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.

"Bagaimana enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"

"Ah, tidak mungkin. Perutku lapar begini, kalau ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."

"Baik, aku akan mencari bahan masakan!"

Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar guha.

Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berobah serius.

"Hui Song, gin-kang gadis itu hebat sekali. Kabarnya ibunya yang memiliki gin-kang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."

Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andaikata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya mempunyai satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?

Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan dan seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biarpun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itupun tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan nikmat.

"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?"

Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Hui Song tanpa diperintah lagi segera mencari kayu bakar dan membuat api unggun.

Kakek itu memandang terbelalak mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya geleng-geleng kepala, lalu menelan ludah dan bertanya,

"Anak baik, bagaimam mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hongnya?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: