*

*

Ads

Selasa, 20 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 070

Sui Cin tersenyum, mengambil bangkai ayam dan kadal.
"Inilah burung Hong dan naganya!"

"Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"

Sui Cin cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek,

"Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"

"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.

"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"

"Aih, anak baik, jangan marah. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat apakah engkau benar-benar pandai masak."

"Baik, akan tetapi, engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang kuperlukan saat ini."

"Boleh, boleh! Apa saja?"

Sui Cin menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan alisnya.
"Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari jahe, kulit jeruk dan bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, akupun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."

"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema dan kakek itu sudah lenyap dari situ!

Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.

"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"

"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"

Sui Cin tertawa.
"Song-twako, kemana larinya kecerdikanmu dan kenapa semenjak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari gin-kangya itu!"

Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.

"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"

"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... aku... seperti merasa tidak enak hati semenjak dia muncul..."

Dan pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu kepada kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cemburu.

Pemuda ini tidak tahu bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walaupun orang lain itu seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari gin-kang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dia akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi demikian, gadis itu memandang rendah kepadanya.

Terdengar suara kakek itu.
"Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"

Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri disitu, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh amat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.






Dengan girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah gadis itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Adapun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut guha, memejamkan mata dan sebentar saja terdengar suara mendengkur!

Dari pernapasannya, dua orang muda yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat secara seketika tidur pulas hanyalah orang yang sudah amat kuat batinnnya yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu samadhi.

Sui Cin memang seorang gadis yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang gadis ini gemar memasak sehingga dalam perantauannya, ia selalu mempelajari ilmu ini dan memperdalamnya.

Setiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya didalam sebuah restoran, ia tentu segera menghubungi kokinya dan tidak segan-segan ia mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya.

Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya ia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Ia tahu bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, menghilangkan rasa pahit pada beberapa macara sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.

Dengan dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara!

"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!"

Dan dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang dan menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.

"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak daripada masakanku!"

Wu-yi Lo-jin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal!

Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.

"Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?"

Sui Cin bertanya tak sabar lagi setelah dua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu.

Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab,

"Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak daripada masakanku. Mana... masih ada lagikah?"

Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.

"Hi-hik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"

Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh.

"Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!"

Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.

Sui Cin tersenyum.
"Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"

"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"

"Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

"Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau minta setelah araknya habis kuminum nanti!"

"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"

"Apa...?" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"

"Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."

"Hemm, lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aih, kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"

"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan gin-kang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"

Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.

"Ah, tidak bisa... tidak bisa...!"

"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janji-janji penting!"

"Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."

"Aku tidak perduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu gin-kangmu."

"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."

"Kami sendiripun belum makan, kek."

"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, mengeluarkan roti kering dari buntalannya.

Sui Cin terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikitpun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.

Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu nampok kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung gucinya kembali di punggung, mengusap bibir dengan saputangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.

"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik."

"Wu-yi Lo-jin, kau sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku."

Sui Cin memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: