*

*

Ads

Selasa, 20 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 068

Rombongan pengantin itu hanya melalui sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Maka, para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengantin.

Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan perampok atau penjahat lain di hutan itu. Tadipun ketika mereka pergi ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tidak terjadi gangguan. Pula, siapa berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!

Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca dalam hutan menjadi remang-remang karena sinar matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar teriakan yang amat nyaring dari samping kiri, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.

"Berhenti dan serahkan nona pengantin!"

Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai ditunjuk sebagai pengawal dan pelindung nona pengantin.

Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup.
"Kalian bertahan disini, biar aku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!"

Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu dan mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan.

Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi semua wajahnya, hanya memperlihatkan dua buah mata yang mencorong di balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata,

"Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian disini kalau ingin selamat!"

Kalau tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka tersenyum mengejek. Kiranya hanya seorang anak kecil yang menghadang mereka, yang hendak menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka itu dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.

"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan berlutut minta ampun telah mengejutkan hati kami!"

"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"

Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Seorang diantara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannyapun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.

"Plakk!”

Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka menerjang.

"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!"

Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan dan belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.

Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah kemana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi.

Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.






Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.

Sui Cin berpura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan menyongsong mereka dengan pertanyaan heran,

"Eh, kenapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"

Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lalu menceritakan betapa mereka diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja Sui Cin diam-diam merasa geli karena ia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.

"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan pengejaran," katanya.

Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yang berupa gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tidak menyadari bahwa joli atau berobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat daripada tadi.

Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin tiba di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin.

Dan memang hal itu tidak mengherankan. Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri kelima, apalagi kalau wanita itu hanya seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka disitu tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu.

Apalagi ketika para penjemput itu dengan bermacam gaya menceritakan tentang pencegatan orang aneh yang amat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lalu tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja dalam jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pcngantin!

Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang ikut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia memperkenankan pengawal cantik ini ikut masuk pula.

Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik daripada gadis desa yang diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis.

Apalagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya. Pembesar yang usianya sudah enam puluh tatun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita dibeli dengan harta dan kedudukannya. Baginya, wanita tentu tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, biarpun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.

Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang kelima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu.

Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit ikut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.

"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.

Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh para pelayan keluar dari dalam kamar.

"Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu.

Para pelayan itu cekikikan dan berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu selain bertugas sebagai pelayan juga kadang-kadang memperoleh giliran menemaninya dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.

Setelah semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Sekali ini dia mengamati wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita secantik ini, apalagi kalau wanita ini memiliki kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!

"Nona, siapakah namamu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya, belum juga melihat calon isteri yang masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi ia pura-pura tersenyum manis dan melirik manja.

"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."

"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."

"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."

"Eh, jangan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aih, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu.

Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.

"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Eh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?"

Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di depannya dalam pakaian pengantin wanita!

Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang, kini berlenggak-lenggok genit seperti seorang perempuan, tentu saja dengan gaya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam.

"Hayaa... kenapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku di malam pertama ini? Aihhh, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu tercinta. Mari, peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."

Pembesar itu menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar seperti suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.

"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri dan mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!"

Akan tetapi suara tikoan itu terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song telah menotoknya pada jalan darah di leher yang membuat tikoan itu tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song menendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan.

Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi, wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentu sekutu gadis itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: