*

*

Ads

Sabtu, 17 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 058

"Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.

"Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"

Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.

Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian diluar sebuah dusun yang sunyi, dibawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.

Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya.

Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.

"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.

Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya,
"Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."

Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.

"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.

"Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"

Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang.

Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya.

Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.

Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya.

Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, kalah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat.

Andaikata suami isteri itu maju satu demi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka,

Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa hantaman dan tendangan yang berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan.






Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Disitu terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.

Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, maka diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya.

Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.

Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, tangan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel,

"Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"

Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara,
"Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!"

Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.

Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting!

Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.

Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pikir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.

Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjatanya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembilan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengannya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling beradu mengeluarkan bunyi nyaring. Dikepung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus!"

Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebatan diantara sinar senjata empat orang pengeroyoknya yang bergulung-gulung itu. Tentu saja empat orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemikian lihainya dan seperti pandai menghilang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya.

Ternyata kakek ini bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seperti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang pengeroyoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.

"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-senjata lawan berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.

"Tar-tar-tarrr...!"

Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.

"Singggg... tring-tringgg...!"

Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.

"Tar-tar-tarr...!"

Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun.

Akan tetapi kakek itu menggunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya menyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke arah tiga orang pengeroyok lain.

Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tubuh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.

"Terima kasih, engkau baik sekali telah menolongku dengan cambukmu!"

Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking kagetnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hendak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dadanya terasa sesak, seperti telah dipukul orang dengan keras!

Empat orang itu merangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan semudah itu oleh kakek jembel ini? Si kakek jembel tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!"

Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan.

Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.

Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu,

"Tendang pantat mereka! Tendang pantat mereka!"

Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.

"Bukk! Bukk!"

Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: