*

*

Ads

Sabtu, 17 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 057

Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an.

Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain.

Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, kearah wajahnya, dengan pandang mata kagum.

Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang tergolong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang.

Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpakaian mewah. Mereka itu adalah dua orang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan tetapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk memikat hati orang, Ci Kang juga mengenal sifat berandalan pada dua orang wanita itu dan dapat menduga bahwa mereka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat orang itu yang agaknya baru saja memperoleh hasil banyak dari pekerjaan kotor mereka.

Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi wataknya untuk tidak mencampuri urusan orang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia memandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan karena ingin tahu.

Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling.

Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka.

Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya.

Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya mengejar ambisi dan untuk itu, ayahnya dapat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandungnya sendiri.

"Heii, kalian melihat siapa sih? Kenapa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang diantara empat pria itu menegur.

Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan tetapi dia terus makan minum dan tidak perduli.

"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.

"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.

"Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa.

Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.

Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan.






Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.

Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit.

Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya.

Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran.

Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.

Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar.

Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperlihatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan dikagumi oleh dua orang pelacur yang mereka sewa.

"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, bersihkan dulu sepatu kami baru engkau boleh pergi dari sini!" kata seorang di antara mereka yang berkumis lebat.

Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan memandang rendah.

Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa memperdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli dan melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal.

Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang dari kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.

Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang sama sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan.

Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu.

Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman.

Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.

Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.

Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi.

Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan.

Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.

Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.

"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.

"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.

"Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh.

Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.

"Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.

"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"

Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Diantara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.

"Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, diantara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: