*

*

Ads

Senin, 29 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 056

Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.

"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga? Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."

"Tidak, ayah, aku tidak mau!"

Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.

"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?"

Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya.

"Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."

Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu.

Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.

"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"

"Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."

"Brakkk!"

Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.

"Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."

"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."

"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu? Kau kira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..."

Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa disitu terdapat orang--orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua rahasia keluarganya.

"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."

"Sombong engkau! Katakan saja engkau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."

"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari pada penghidupan kaum sesat..."

"Anak durhaka...!"

Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali.

Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangannya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui dimana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh dekat pintu.






"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"

"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!"

Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat kearah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi.

Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan disitu dia berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu kemana perginya Ci Kang!

"Anak durhaka, jangan lari kau! Dimana engkau? Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua? Hayo bantu aku menangkap dan membunuh anak durhaka itu!"

Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu.

Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.

"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-temannya menjadi lega.

Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya.

Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya.

Suatu serangan yang amat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat berbahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.

"Dukk...!"

Dua tenaga besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu!

Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan.

"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya.

Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.

"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.

"Desss...!"

Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental.

Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.

Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos.

"Kalian ini sungguh sekelompok orang tak berguna. Kalian membiarkan anak durhaka itu lolos begitu saja, tanpa mengejar?"

“Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.

"Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan menentangku, lebih baik melihat dia mampus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, juga mencari dan menyeret anak durhaka itu ke depan kakiku agar aku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"

Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri didalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum.

Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!

Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Tidak apa, memang seharusnya begitu. Kalau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu menghadapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mampu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!

Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapit kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.

Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya.

Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya.

Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.

Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.

**** 056 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: