*

*

Ads

Jumat, 05 Januari 2018

Siluman Gua Tengkorak Jilid 15

Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat berbahaya dan sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang jelas dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apapun juga timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api yang apabila diberi hati, apabila dituruti akan seperti api yang diberi bahan bakar.

Makin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi, makin membesar dan tidak akan padam lagi. Mengendalikan nafsupun tidak akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauanpun percuma karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu.

Sering kali terjadi konflik dalam batin sendiri. Di satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, di lain pihak keinginan untuk mematikanpun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka.

Nafsu itu sendiri merupakan enersi yang hebat. Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya yang menentukan apakah ia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan kesadaran dari pengamatan diri pribadi.

Pengamatan diri pribadi akan menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan diri pibadi ini dapat terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan waspada sepenuhnya terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran, kata-kata maupun perbuatan. Bukan mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga merupakan hasil pekerjaan si aku!

Jadi, kita harus sungguh-sungguh waspada akan segala kepalsuan yang terjadi setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang terjadi di luar diri, melainkan terutama sekali kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di dalam batin kita sendiri.

Dengan umpan kesenangan dalam pemuasan nafsu berahi ini, Sian-su berhasil menarik minat banyak orang untuk menjadi pengikut perkumpulan agamanya. Tentu saja diapun memilih-milih orang, terutama sekali dipilih orang-orang yang berkedudukan, yaitu para bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang yang memiliki ilmu silat atau yang menamakan diri mereka pendekar-pendekar.

Dan kerena sifat dari pesta-pesta agama ini, para pengikut itu sendiri merahasiakannya dari orang luar karena bagaimanapun juga, setiap orang manusia itu mempunyai naluri akan penyelewengannya sendiri dan merasa malu kalau penyelewengannya diketahui orang. Demi kesenangan yang telah mencandu, mereka itu dengan sendirinya memerangi perasaan salah ini dengan berbagai alasan pelajaran keagamaan seperti yang diajarkan oleh Sian-su.

Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka berdatangan ke tempat itu, dan hanya para anggauta inilah yang tahu jalannya, melalui jalan rahasia yang hanya terbuka untuk mereka, yaitu tempat pemujaan di tengah-tengah pegunungan yang tidak nampak dari luar dan hanya dapat dicapai melalui jalan terowongan rahasia itu.

Sudah lebih dari dua tahun perkumpulan agama itu bersarang di situ, akan tetapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali para anggauta atau pengikut. Para pengikut ini telah banyak menyerahkan uang sumbangan kepada perkumpulan, akan tetapi mereka tahu pula bahwa uang itu dipergunakan untuk memajukan perkumpulan dan terutama sekali untuk menyenangkan mereka.

Pesta-pesta itu, dengan hidangan-hidangan yang lezat, membutuhkan uang. Juga untuk memelihara para anggauta atau murid-murid wanita yang cantik-cantik, muda dan pandai menari itupun membutuhkan uang. Apa lagi untuk membangun "istana" mereka yang berada di puncak bukit tersembunyi itu, membuat pondok-pondok untuk tujuh dewa, semua membutuhkan uang yang amat banyak.

Karena itu mereka tidak merasa sayang untuk menyumbangkan harta benda. Tentu saja mereka yang sudah percaya penuh kepada kebijaksanaan Sian-su itu sama sekali tidak mau percaya akan desas-desus bahwa perkumpulan mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan akhir-akhir ini.

Mereka menganggapnya sebagai kabar bohong dan fitnah belaka. Mereka tidak tahu bahwa nafsu ketamakan orang yang mereka sebut Sian-su itu makin lama semakin menjadi dan untuk membuat pondok-pondok dan benda-benda dari emas tulen itu membutuhkan banyak sekali uang. Dan untuk memenuhinya, orang itu telah mempergunakan kepandaiannya sendiri dan kepandaian anak buahnya untuk melakukan pencurian-pencurian. Juga untuk memperlengkapi persediaan mereka akan wanita-wanita cantik, maka perkumpulan ini mulai pula melakukan penculikan-penculikan atas diri wanita-wanita muda dan cantik.

Bahkan, tindakan Sian-su sudah sedemikian berani untuk memenuhi "pesanan" dari pemujanya, dan pada malam hari itu dia telah memenuhi pesanan dari pemuda bangsawan Phang yang tergila-gila kepada nyonya Cia Kok Heng! Akan tetapi, yang tahu akan hal ini hanyalah pemuda Phang itu dan Sian-su sendiri dan tentu saja untuk jasa ini pemuda Phang yang kaya raya itu tidak sayang untuk memberi hadiah sumbangan yang amat besar!






Perkumpulan agama ini mempunyai anak buah yang tidak terlalu banyak, hanya kurang lebih empat puluh orang, terdiri dari berbagai golongan, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang lumayan.

Mereka ini adalah anak buah dan juga murid-murid Sian-su yang memiliki dasar ilmu silat berbagai aliran. Tidak semua dari mereka dari golongan penjahat, bahkan banyak pula yang terdiri dari orang baik-baik yang tertarik akan agama itu dan kemudian menjadi pengikut lalu diangkat menjadi murid dan anak buah. Seperti juga Sian-su, setelah menjadi anak buah perkumpulan agama itu dalam melaksanakan tugas mereka semua menggunakan pakaian seragam dan juga topeng tengkorak.

Mengapa mereka mempergunakan pakaian dan topeng tengkorak? Hal ini adalah untuk menyatakan pujaan mereka terhadap Dewa Kematian. Tengkorak merupakan lambang kematian, dan kebetulan sekali mereka mendapatkan sarang di Guha Tengkorak yang sungguh merupakan tempat yang amat cocok untuk perkumpulan agama mereka.

Anak buah perkumpulan itu telah disumpah setia terhadap Sian-su dan disamping sumpah ini yang diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap Dewa Kematian, juga mereka takut sekali terhadap Sian-su yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka, mereka tahu bahwa berkhianat atau melanggar pantangan berarti kematian yang mengerikan bagi mereka, baik di tangan Sian-su ataupun juga di tangan Dewa Kematian yang tentu akan menyiksa mereka di alam baka!

Sian-su yang berilmu tinggi itu dapat mencengkeram dan menguasai semua anak buah atau muridnya, juga menguasai semua wanita pelayan dan penari, menguasai para pengikut dengan menggunakan ilmu sihirnya dan ramu-ramuan obat pembius dan perangsang yang dicampurkannya dalam minuman. Perlahan-lahan namun pasti, pengaruhnya meluas dan anggautanya bertambah, para pengikutnya juga bertambah.

Melihat betapa pesta itu berobah menjadi tempat pemuasan nafsu tanpa mengenal batas kesopanan lagi, bahkan diantara pasangan-pasangan yang menari-nari dan berpelukan sambil berciuman itu ada yang sambil tertawa-tawa sudah bergandengan tangan menuju ke sudut-sudut dimana terdapat kasur-kasur kecil dengan pakaian si wanita sudah tidak karuan lagi, Thian Sin menjadi muak.

Dia sendiri adalah seorang pemuda yang romantis. Namun dia memandang hubungan antara pria dan wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang merupakan pencurahan dari pada kasih yang bukan hanya merupakan pemuasan nafsu berahi belaka. Apa lagi kalau dilakukan secara demikian kasar, di depan orang banyak, tanpa sedikitpun memperdulikan kesusilaan dan sopan santun, tentu saja perasaannya tersingung dan dia menjadi tidak senang.

"Taihiap, marilah... apakah taihiap tidak ingin bersenang-senang? Mari kulayani, taihiap... aku sengaja mengelak dari siapapun juga untuk melayanimu... "

Tiba-tiba ada lengan kecil berkulit halus merangkulnya dan hidungnya mencium bau semerbak harum. Thian Sin menengok dan melihat bahwa yang merangkulnya adalah gadis yang tadi menerima sumbangannya. Pada saat itu hati Thian Sin sedang kesal dan murung, marah yang ditahan-tahan. Maka, sikap gadis ini membuatnya marah, apa lagi ketika gadis itu tanpa malu-malu lagi lalu menciumnya dan menarik-narik lengannya.

"Pergilah!" bentaknya dan sekali dorong, gadis itu terpelanting dan jatuh sampai beberapa meter jauhnya.

Diapun melihat betapa para anggauta perkumpulan itu, yang sejak tadi tidak ikut pesta melainkan berdiri dan berjaga, memandang kepadanya penuh perhatian dan begitu dia mendorong jatuh gadis itu, lima orang diantara mereka segera berloncatan dan sudah mengurungnya. Thian Sin berdiri tegak dan bersikap tenang, maklum bahwa bagaimanapun juga akhirnya dia tidak akan dapat lolos dari pertempuran.

"Ceng-taihiap, sebagai tamu, taihiap telah melangqar peraturan dan melakukan penghinaan terhadap murid-murid kami yang terkasih," terdengar suara Sian-su yang ternyata sudah berada pula disitu.

Tangannya menunjuk ke arah gadis yang tadi jatuh, yang kini sudah berdiri dan memegangi siku tangan kirinya yang berdarah, kemudian gadis itu melangkah pergi dengan kepala menunduk.

"Sian-su, aku memang muak melihat semua ini dan aku telah menolakya, habis kalian mau apa?" tanyanya sambil memandang kepada lima orang yang mengurungnya dan mengambil sikap menyerangnya itu.

Dia melihat bahwa diantara lima orang ini terdapat tosu penghuni kuil itu yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan kepala.

"Siancai... agaknya taihiap hendak mengandalkan kepandaian menentang kami. Ataukah taihiap hendak meramaikan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silat?"

"Terserah apa yang hendak diartikan, akan tetapi yang jelas, aku akan pergi dari tempat kotor ini!" kata Thian Sin.

Dia sudah membalikkan tubuhnya hendak pergi melalui anak tangga dari mana dia datang tadi, akan tetapi lima orang itu dengan sekali loncatan telah menghadang di depannya.

"Ah nanti dulu, taihiap. Tidak semudah itu untuk pergi meninggalkan tempat ini tanpa seijin kami. Kalau taihiap hendak memperlihatkan ilmu silat, baiklah. Biar aku melihat sendiri sampai dimana kehebatan ilmu Pendekar Sadis yang terkenal itu." Lalu dia memberi isyarat kepada lima orang itu dan berkata, "Tangkap dia!"

Lima orang itu adalah lima orang pembantu utama dari Sian-su merupakan murid-murid kepala yang paling lihai diantara semua anggauta atau murid dan diantara lima orang ini memang terdapat tosu penghuni kuil yang tentu saja bukan bertapa di kuil itu melainkan bertugas sebagai penjaga dan pengintai.

Biarpun ketua mereka memberi perintah lisan agar menangkap Pendekar Sadis, akan tetapi dari isyarat dengan tangan itu mereka maklum bahwa mereka disuruh membunuh musuh yang berbahaya ini. Maka, begitu tangan mereka bergerak, lima orang bertopeng siluman tengkorak itu sudah mencabut pedang mereka dari balik jubah dimana senjata mereka itu disembunyikan. Melihat ini, Thian Sin tersenyum.

"Majulah, kalau kalian menghendaki demikian!"

Dia masih berdiri tegak, tidak mau mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam yang tersembunyi di balik bajunya.

Lima orang bertopeng tengkorak itu tiba-tiba menggerakkan pedang mereka dan mulailah mereka menyerang bergantian secara bertubi-tubi dan teratur. Pedang mereka berkelebatan menyilaukan mata tertimpa sinar lampu-lampu di sekeliling tempat itu dan setiap gerakan mereka itu selain cepat juga kuat sekali. Hal ini tentu saja diketahui Thian Sin dan pemuda inipun bersikap waspada, mempergunakan kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan kadang-kadang dia menggunakan tangannya untuk menangkis.

"Plak! Plakk!"

Ketika tangan kirinya dengan gerakan cepat menangkis dua batang pedang, si pemegang pedang terhuyung mundur dan mereka terkejut sekali. Dengan tangan telanjang pemuda itu mampu menangkis pedang dengan kekuatan sedemikian dahsyat, maka hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Pendekar Sadis.

Sedangkan Sian-su sejak tadi nonton di pinggiran sambil merangkul pinggang ramping gadis yang tadi melayaninya. Beberapa kali dia mengangguk-angguk dan pandang matanya menjadi semakin kagum. Dari beberapa jurus saja tahulah dia bahwa Pendekar Sadis ini benar-benar amat lihai sekali.

Alangkah baiknya dan betapa menguntungkan kalau dia bisa menariknya sebagai pembantu utamanya! Kini, yang menjadi pembantu utamanya adalah lima orang murid kepala ini, akan tetapi agaknya mereka ini tidak akan menang melawan Pendekar Sadis, walaupun mereka semua memegang pedang dan Pendekar Sadis hanya bertangan kosong saja.

Pertandingan itu menarik perhatian mereka yang sedang berpesta. Akan tetapi, mereka yang tidak mengenal ilmu silat, para bangsawan dan hartawan yang sedang mabok berahi, tidak memperdulikan pertandingan itu dan melanjutkan kesenangan mereka, berpasang-pasangan dan melanjutkan permainan mereka di sudut-sudut ruangan yang luas itu menyendiri berduaan saja.

Mereka yang mengenal ilmu silat, terutama para pengikut yang berasal dari golongan pendekar, menjadi tertarik dan biarpun mereka masih merangkul pinggang pasangan masing-masing, mereka mendekat dan menonton dengan penuh perhatian.

Siluman Gua Tengkorak







Tidak ada komentar: