*

*

Ads

Jumat, 05 Januari 2018

Siluman Gua Tengkorak Jilid 14

Janji-janji muluk yang selalu dipamerkan memang merupakan umpan yang amat menarik bagi manusia pada umumnya yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan, di manapun dan kapanpun juga. Bahkan untuk mendapatkan janji-janji muluk ini, manusia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, bahkan kalau perlu menyiksa diri.

Betapa banyaknya orang menyiksa diri dengan berpuasa dan betapa di tempat sunyi, penyiksaan diri karena disana terdapat harapan atau janji bahwa mereka akan memperoleh ganjaran batin yang tentu saja menyenangkan? Bahkan untuk keadaan mereka sesudah mati sekalipun, selagi masih hidup manusia sudah hendak mengaturnya, semua itu demi memperoleh kepastian bahwa keadaannya kelak "di sana" akan enak, keenakan yang diukur dengan keadaan di waktu masih hidup.

Wanita itu masih berlutut dan Thian Sin terpaksa juga berjongkok ketika menghampirinya dan hendak mengajukan pertanyaan.

"Nyonya, bolehkah saya mengetahui namamu?"

Wanita itu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin dan diam-diam Thian Sin harus mengakui bahwa isteri Cia Kok Heng ini adalah seorang wanita yang cantik menarik dan manis sekali. Ketika dia memandang matanya, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang benar wanita itu berada dalam keadaan tersihir atau setidaknya dalam keadaan tidak begitu sadar! Tentu saja dia menjadi marah.

"Namaku Lu Sui Hwa..." jawab wanita itu dengan sikap ramah dan senyum manis menghias bibirnya.

Thian Sin lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan kekuatan sihir untuk menyadarkan wanita itu sambil berkata,

"Lu Sui Hwa, sadarlah engkau dan mulai saat ini pergunakan pikiranmu sendiri!"

Dengan gerakan tangan, Thian Sin membuat gerakan jari tangan kiri di depan wajah wanita itu. Wanita itu segera terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan.

"Ihhh...!"

"Sui Hwa, tenanglah dan jawab semua pertanyaan Pendekar Sadis. Ingat, engkau berada dalam keadaan aman!" Tiba-tiba terdengar suara Sian-su yang lemah lembut.

Ucapan itu membuat sepasang mata yang terbelalak itu menjadi suram dan wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan penuh kecurigaan! Akan tetapi, Thian Sin melihat bahwa usahanya berhasil dan wanita itu kini benar-benar telah sadar.

"Nyonya, kenalkah engkau kepada orang yang bernama Cia Kok Heng?" tanyanya dengan lantang.

Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika wanita itu menjawab dengan wajar,
"Dia adalah suamiku."

"Dan dua orang anak kecil, seorang anak laki-laki dan seorang wanita bernama Cia Liong dan Cia Ling?"

Wajah itu menjadi pucat sekali, akan tetapi suaranya masih terdengar tenang dan lantang ketika menjawab,

"Mereka adalah anak-anakku!"

Thian Sin lalu bangkit berdiri dan suaranya lantang dan penuh wibawa ketika dia berkata lagi,

"Nyonya Cia, engkau yang mempunyai suami dan dua orang anak, kenapa bisa berada disini?"

Suasana menjadi tegang. Semua tamu maklum bahwa Pendekar Sadis ini mencari-cari permusuhan, dan semua telinga ditujukan kepada wanita itu, menanti jawabannya. Thian Sin sudah bersiap siaga karena dia merasa yakin bahwa wanita ini tentu akan membuka rahasia Siluman Guha Tengkorak, bahwa ia telah diculik oleh mereka.

"Aku memang meninggalkan mereka untuk menjadi pengikut Sian-su!"






Jawaban ini tentu saja tidak disangka sama sekali oleh Thian Sin dan mukanya menjadi merah ketika dia mendengar suara ketawa tertahan di sana-sini. Dia menggunakan kekuatan sihirnya untuk "mencuci" wanita yang masih berlutut itu dari hawa atau pengaruh sihir yang mempengaruhi, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak lagi dalam pengaruh sihir, melainkan menjawab dalam keadaan sadar!

"Engkau sebagai seorang nyonya terhormat rela merendahkan diri, mengenakan pakaian seperti ini dan meninggalkan suami dan anak-anakmu?"

Suara Thian Sin mengandung penasaran dan dia tahu bahwa pertanyaannya itu tentu akan menikam perasaan seorang ibu dan isteri yang terhormat.

"Taihiap, pertanyaanmu itu sudah menyimpang dan merupakan penghinaan!"

Terdengar Sian-su berkata halus dan Thian Sin menoleh. Dia melihat betapa pandang mata para tamu ditujukan kepadanya dengan penuh penasaran, dan wanita itupun menunduk dan menangis!

"Sui Hwa, jawablah, apakah ada yang memaksamu menjadi pengikut kami dan menjadi pemuja Dewa Kematian?" tanya Sian-su dengan suara lantang.

"Tidak ada, aku masuk atas kehendakku sendiri," jawab nyonya itu.

"Dan engkau rela mengikuti semua upacara dan peraturan seperti yang sudah berlaku disini?"


"Aku rela."

Sian-su berpaling kepada Thian Sin.
"Ceng-taihiap sudah mendengar cukup, maka harap silahkan duduk dan menyaksikan upacara selanjutnya. Boleh saja orang luar merasa tidak setuju dengan cara-cara kami, akan tetapi jelas bahwa orang luar tidak berhak mencampuri."

"Aku tidak ingin mencampuri, hanya ingin tahu keadaan yang sebenarnya," bantah Thian Sin.

Akan tetapi, para anggauta perkumpulan itu sudah datang mengurung dan para tamu juga memandang marah. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan pundaknya dan kembali ke tempat duduknya, mulai meragukan kebenaran tindakannya memasuki sarang berbahaya ini. Bagaimana kalau memang wanita itu adalah wanita tak bermalu yang rela meninggalkan suami dan anak-anak untuk menjadi pengikut perkumpulan yang cabul ini?

Mungkin saja suaminya tidak rela melepaskan dan bersama kawan-kawannya yang merupakan Tujuh Pendekar Tai-goan mereka memusuhi perkumpulan ini akan tetapi mereka dikalahkan sehingga semua jatuh tewas. Kalau benar demikian keadaannya, maka persoalannya tentu saja menjadi lain sama sekali! Dengan termangu-mangu Thian Sin menyaksikan upacara yang mulai dilakukan oleh Sian-su.

Siluman atau pendeta siluman ini mengambil kelinci putih dari tangan seorang diantara tujuh orang gadis, lalu mengambil pedang emas. Dia mengangkat kelinci itu di depannya, tepat di atas kepala Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, kemudian pisau atau pedang kecil dari emas itu dihunjamkan ke leher kelinci putih!

Darah mengucucur keluar dari luka leher itu ketika pisau dicabut nampak jelas sekali menodai bulu putih bersih, kemudian darah itu mengucur jatuh ke atas kepala nyonya muda itu! Dari atas kepala, darah kelinci itu mengalir dan membasahi mukanya. Wa-nita itu tengadah dan nampak tersenyum bahagia sambil memejamkan matanya dan dari jauh Thian Sin dapat melihat bahwa wanita itu kembali telah berada dalam cengkeraman sihir.

Akan tetapi karena tadi malam dalam keadaan sadar wanita itu telah mengaku bahwa ia melakukan semua itu atas kehendak hatinya sendiri dan secara suka rela, apa yang dapat dilakukannya? Dia hanya dapat memandang. Kini pendeta siluman itu membiarkan darah kelinci memasuki bokor emas yang dipegang oleh salah seorang gadis, sampai darah itu tidak menetes lagi dari leher kelinci.

Tentu saja kelinci itu mati kehabisan darah. Akan tetapi, ketika pendeta siluman itu dengan bentakan nyaring melemparkan kelinci ke bawah, kelinci yang mandi darah itu menggerakkan tubuhnya dan lari cepat ke tebing dan menghilang di balik jurang!

Thian Sin mengangguk-angguk. Memang pendeta ini seorang lawan yang tangguh, juga dalam ilmu sihirnya! Sang pendeta lalu menuangkan arak atau anggur dari dalam guci-guci emas ke dalam bokor, mencampur arak itu dengan darah kelinci. Kemudian musikpun dipukul dengan gencar penuh semangat, makin lama makin panas ketika pendeta itu, diwakili oleh tujuh orang penari, membagi-bagikan isi bokor ke dalam cawan arak para tamu!

Thian Sin yang hendak diberi, menolak keras dengan menggeleng kepala dan mukanya menyatakan jijik. Kini semua penari, berikut tujuh orang gadis yang jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang, menari semua, menurutkan irama musik yang makin lama semakin panas merangsang.

Dan perlahan-lahan, Lu Sui Hwa juga menggerak-gerakkan tubuhnya dan bangkit berdiri sambil menari. Agaknya ia tidak pernah belajar menari, akan tetapi ia hanya menggerak-gerakkan kedua lengan dan pinggulnya, dan karena ia seorang wanita cantik yang memiliki bentuk tubuh yang indah, biarpun begitu tetap saja ia nampak amat menarik!

Seorang pemuda yang tadinya duduk di bagian tamu, nampaknya sudah mabok atau terseret oleh keadaan itu. Sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri Sian-su yang memegang tangannya dan menariknya mendekati Sui Hwa.

Mereka agaknya berkenalan dan Sui Hwa menyambutnya dengan senyum manis, kemudian pemuda yang kelihatan sudah mabok itu lalu merangkul dan menjilati darah yang menodai wajah Sui Hwa, dan keduanya menari-nari dan berpelukan!

Para tamu mulai gembira, bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama musik. Agaknya setelah minum anggur bercampur darah tadi, mereka semua menjadi mabok berahi! Serentak mereka berdiri dan menari-nari, masing-masing memilih pasangan sendiri-sendiri diantara para penari dan terjadilah pemandangan yang hampir tidak dapat dipercaya oleh Thian Sin kalau dia tidak menyaksikannya sendiri!

Orang-orang itu mungkin telah menjadi gila, pikirnya. Mereka menari berpasang-pasangan, saling rangkul, saling belai dan saling cium, sedikitpun tidak merasa malu dan musikpun semakin riuh rendah, keranjingan dan mereka semua seperti telah kerasukan iblis!

Pendeta siluman itu sendiri sudah meraih pinggang seorang wanita muda sekali, yang cantik manis dan yang agaknya memang menjadi kekasihnya. Thian Sin tahu bahwa wanita muda ini adalah Thio Siang Ci, mempelai wanita di dusun Ban-ceng yang telah diculik pada malam pengantin!

Diculik karena pendeta siluman itu sendiri yang tertarik dan tergila-gila kepada kembang dusun Ban-ceng ini. Juga Pendekar Sadis tidak tahu bahwa orang muda yang kini sudah bergumul sambil menari-nari itu adalah seorang pemuda bangsawan she Phang dari Taigoan yang telah lama tergila-gila kepada isteri Cia Kok Heng yang kini telah berada dalam pelukannya dan melayani hasrat hatinya dengan nafsu berahi bernyala-nyala itu.

Sebetulnya, perkumpulan yang menamakan dirinya perkumpulan agama Jit-sian-kauw ini secara diam-diam sudah lama bersarang di tempat itu. Perkumpulan ini dipimpin oleh orang yang hanya dikenal dengan sebutan Sian-su dan secara diam-diam pula telah diakui oleh banyak anggauta yang terdiri dari orang-orang penting di sekitar Tai-goan, bahkan ada pula yang dari kota raja.

Secara resmi, agama ini mengadakan pelajaran-pelajaran agama yang diambil dari Agama Buddha Hinayana dan Agama To, dicampur dengan unsur dari agama kuno seperti Im-yang kauw dan lain-lain yang menjurus kepada pelajaran kebatinan yang mengejar hal-hal gaib. Diantara tujuh dewa yang dipuja oleh Jit-sian-kauw (Agama Tujuh Dewa) itu yang terutama sekali dan menjadi pusat dari pemujaan mereka adalah Dewa Kematian.

Di bawah pimpinan Sian-su, para anggauta dituntun untuk memuja dewa ini yang dianggap dapat memberi usia panjang dan dapat mengatur nasib mereka kelak setelah mereka mati. Pemimpin yang disebut Sian-su itu adalah seorang yang selalu bersembunyi di balik topeng tengkorak sehingga belum pernah ada yang melihat atau mengenal wajah aselinya.

Akan tetapi semua anggauta dan pengikut amat hormat dan taat kepadanya karena memang orang ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat akan tetapi juga ilmu gaib.

Sian-su ini dikabarkan memiliki kepandaian seperti dewa, dapat menghilang, dapat mendatangkan tujuh dewa yang dipuja-puja itu. Bukan itu saja, bahkan dalam upacara-upacara diadakan pesta yang oleh Sian-su dinamakan pesta pembebasan nafsu badaniah!

Di dalam pesta seperti ini, mereka membiarkan diri hanyut dalam seretan gelombang nafsu berahi yang melanda mereka dimana mereka boleh melampiaskan nafsu berahi mereka sepuasnya dengan siapapun juga asal tidak ada unsur pemaksaan. Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa Kematian.

Siluman Gua Tengkorak







Tidak ada komentar: