*

*

Ads

Selasa, 02 Januari 2018

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 33

Tiat-ciang Lui Cai Ko masih hendak berlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia masih merasa malu kalau harus mengeluarkan senjata, maka diapun tertawa dan berkata.

"Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, engkau akan kutelanjangi dan kuperkosa disini juga!"

Dan sebelum kata-katanya habis, dia sudah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah dada sedangkan tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram ke arah pundak. Serangan yang amat hebat dan sekaligus telah menggunakan kedua tangan dan sebelah kaki.

Akan tetapi, Kim Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan mudahnya berloncatan mengelak dan ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata lawan.

"Wuuuuttt... plakk!"

Dan sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan nyaris jatuh terbanting kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia meloncat bangun lagi. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya menyeringai, seperti orang tertawa! Dia merasa malu dan marah bukan main. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan lawan!

Kini diapun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah seorang yang memiliki gin-kang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang berbahaya sekali, walaupun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan tendangannya tadipun tidak begitu kuat.

Sungguh pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia tidak waspada. Dia tidak melihat bahwa kalau King Hong menghendaki, sekali tendangan tadi saja sudah akan mampu meremukkan tulang gerahamya! Gadis itu memang sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya.

"Wuuut! Wuuut!"

Tiat-ciang Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan kirinya memegang sebatang pisau yang panjangnya ada tiga puluh senti, ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja yang ujungnya memakai kaitan seperti mata kail!

Sungguh senjata-senjata yang amat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi karena ia sudah dapat mengukur sampai dimana kepandaian lawan, iapun tidak merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya dan hanya menanti dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biarpun nampaknya santai saja, sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah dipenuhi dengan tenaga sin-kang yang tinggi dan kuat.

"Hi-hik, itu senjatamu? Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan matamu menjadi juling itu tentu karena terlalu sering memutar cambuk itu. Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, dari juling menjadi buta!"

Kim Hong mengejek tanpa memperdulikan serangan lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu. Dengan hanya sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang dan sambaran pisau pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya.

Ketika pada detik berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar lewat dan ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur pinggirnya kena hantam ujung cambuk.

Tentu saja Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang kabut dan seperti biasanya orang yang dihimpit kemarahan, kewaspadaannya berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan perhitungan lagi.

Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya juga berkilauan menyambar-nyambar. Namun, dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri, belum juga balas menyerang karena dara ini ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya sebelum turun tangan.

Sementara itu, melihat betapa tiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir kehabisan perajurit dan juga kehabisan nyali itu, diam-diam memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu untuk mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju beberapa langkah diiringkan oleh para perajurit, menuju ke jalan darurat menuju naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang.






"Orang she Phang, engkau hendak lari ke mana? Siapapun tidak boleh pergi dari sini!" kata In Bwee dengan sikap keren. Melihat ini, Phang-taijin membelalakkan matanya.

"Nona Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi? Ingat, aku bisa menangkapmu dan menuduhmu melawan pejabat!" Phang-taijin menggertak dan bersikap galak.

In Bwee tersenyum manis. Dara ini sekarang berbesar hati. Biarpun dibandingkan dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlalu rendah, akan tetapi sebagai murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk dapat menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin. Ia teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, iapun segera menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya.

"Orang she Phang, pada saat sekarang, engkau masih hendak mengandalkan kedudukanmu? Siapapun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan penjahat, dan urusan disini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah."

Karena yang menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang perajutit itu maju.

"Hajar gadis lancang ini!" katanya.

Enam belas orang perajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka, adalah melarikan diri dari tempat yang berobah menjadi seperti neraka ini. Akan tetapi mereka takut untuk membangkang perintah, apalagi melihat bahwa gadis itu hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan menyerbu. In Bwee menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para perajurit itu mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini.

Ketika Kok Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para perajurit, dia menjadi marah dan khawatir. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan sepasang siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan di lain saat, sebuah tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya terlempar dan sebelum Si Macam Tutul Laut itu sempat memperbaiki posisinya, sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya.

"Aughhh...!"

Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh dan tewas tak lama kemudian karena pit emas di tangan Kok Siang telah menembus tenggorokan dan menotok jalan darah maut.

Kok Siang tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke arah kekasihnya. Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tak beralasan karena kini belasan orang itu sudah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan belum terkena pukulan atau tendangannya sudah menjatuhkan diri dan pura-pura luka tidak dapat melawan lagi. Tinggal Phang-taijin yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan suara.

Melihat betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cambuk atau cambuk baja itu menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah kanannya itu dielakkan, kemudian tangan kirinya dari bawah menghantam ke atas dan tepat mengenai dada lawan.

"Ngukkk!"

Tiba-tiba saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah, kedua tangan melepaskan senjata dan mendekap ke arah atas perut gendutnya, matanya semakin juling melihat ke arah perut dan akhirnya diapun roboh terkulai. Pukulan satu kali dari jari tangan halus Kim Hong tadi telah menyalurkan kekuatan sin-kang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Toan Kim Hong.

Kini mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang.

Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biarpun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu menggunakan sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak pernah terdesak. Tubuhnya seperti menyelinap dan beterbangan diantara dua sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang kalau diingat betapa sedikit saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak!

Akan tetapi juga amat indahnya. Setelah lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang amat diandalkannya itu tidak mampu mendesak lawan, Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan sehebat ini.

Kini mengertilah dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Kiranya memang hebat bukan main ilmu kepandaian pemuda ini, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini tidak dikenalnya.

Karena merasa kewalahan untuk dapat mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga andaikata ada hujan lebat dari atas sekalipun menimpa dirinya, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya.

Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimutinya, seolah-olah telah berobah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang melindunginya dari ancaman apapun dari luar.

Melihat siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini. Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, lalu pada saat lawan mundur, dia merendahkan dirinya dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung lawan, disusul oleh tubuhnya yang tadi merendah itu kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan dahsyat sekali.

Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia berusaha untuk menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan, ke arah bayangan lawan yang meluncur itu.

"Bressss...!"

Sukar diikuti dengan pandang mata terjadinya benturan itu akan tetapi tahu-tahu tubuh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang lalu terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak bergerak lagi.

Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke tengkuk, pedang ke dua masih terkepal tangan kiri. Kiranya dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu membalik dan menembus leher sendiri. Tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa Phang di kota raja itu!

**** 33 ****
Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: