*

*

Ads

Selasa, 02 Januari 2018

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 32

Hai-pa-cu Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang. Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Diapun sudah mendengar dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan agar berhati-hati karena Pendekar Sadis selain terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu takkan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka.

Dan kini, tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar perajurit yang berada di dalam guha dan agaknya telah membebaskan para tawanan. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis? Betapapun juga, agak lega hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak mendatangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah kepada seorang pemuda tampan seperti itu.

"Berikan kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!" bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara penuh geram. "Atau, engkau akan mati di tanganku!"

"Ha-ha-ha, suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah sejak lama namamu tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Mau minta kunci? Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih luas."

"Baik? Akupun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan ingin sekali melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!"

Berkata demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir. Setelah tiba di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk melindunginya.

Enam belas orang perajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya sudah luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh dengan rasa ngeri dan takut, datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan perlindungan siapa! Mereka berkumpul, seperti sekumpulan anak-anak yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan.

Thian Sin bersama tiga orang muda itupun melangkah keluar dari dalam guha. Di luar, tiga orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap. Dan seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan menggunakan senjatanya!

Ketika melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin,
"Ceng-taihiap, Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!"

"Dan Pat-pi Mo-ko itu bagianku!" kata pula Kim Hong.

"Tidak, Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling Tiat-ciang Lui Cai Ko itu."

"Ah, si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!" kata Kim Hong.

Thian Sin tersenyum.
"Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan saja!"

Kim Hung tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah. Akan tetapi mereka itu orang-orang jahat semua, patut untuk dibasmi habis."

"Bagaimana dengan jaksa korup itu?" tanya Thian Sin.

"Serahkan saja padaku!" kata Kok Siang yang tersenyum nakal. "Diapun perlu dihajar dengan cara lain."

Maka ketika mereka bertiga tiba di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya menonton karena ia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka sudah siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya.

"Nah, Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan? Di tempat sunyi dan para perajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok kami." kata Thian Sin tersenyum.

Tiba-tiba In Bwee yang merasa tidak kebagian pekerjaan itu berkata,
"Kalau mereka berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!"






Pat-pi Mo-ko yang biasanya amat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di situ memang mengerikan. Para perajurit yang terhimpit batu, ada yang tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada yang berkelojotan dan darah di mana-mana!

Semua itu merupakan tanda malapetaka hebat di pihaknya. Dan dia tahu bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus menghadapinya lagi. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tidak dapat terlalu diharapkan akan bisa mengatasi Toan Kim Hong. Dia sendiri tidak takut welawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga.

"Pendekar Sadis, kalau kita saling gempur, tentu satu diantara kita akan tewas sedangkan yang lain besar kemungkinan akan menderita luka pula. Harta karun itu tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan harta karun itu dan kita bagi rata!"

Thian Sin tersenyum dan bertolak pinggang.
"Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apakah engkau bisa mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?"

"Betul-betul engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?" Sekali lagi Pat-pi Mo-ko membentak.

"Sayang sekali..."

Baru sampai disitu Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia sudah mengerahkan sin-kangnya yang tadi mampu mengguncangkan guha dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor.

Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan.

Thian Sin tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dengan tenang diapun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, akan tetapi membuat kakek tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis, sengaja hendak mengadu tenaga dengan pendekar yang masih muda itu.

"Dukkk...!"

Dua tenaga raksasa bertemu dan batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu, tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikitpun juga, akan tetapi Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya agak menggigil kedinginan!

Matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan? Dan kekuatan itu! Bukan main dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan selurub tenaga.

Akan tetapi, kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sin-kang, dia tidak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Diapun lalu mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan tubuh dan tangan, nampak dua gulungan sinar membungkus dan menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara lebah-lebah mengamuk.

Itulah ilmu pedang pasangan Pek-hong-siang-kiam (Ilmu Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia memiliki kecepatan gerak tangan yang membuat lengannya seperti nampak menjadi banyak akan tetapi menghadapi Pendekar Sadis, dia tidak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan kini mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu.

Akan tetapi, sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya sendiri. Biarpun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya, namun dia tidak merasa khawatir dan mengandalkan gin-kangnya untuk menghadapi amukan sepasang pedang itu.

Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang seperti kapas ringannya sehingga sebelum pedang menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang dan dapat menghindar dengan cepatnya, kemudian kedua kaki tangannya tidak tinggal diam dan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan serangan dua pedang lawan.

Hai-pa-cu Can Hoa pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu, dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tidak merasa gentar karena sekarang dia telah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun tadi dia bertangan kosong, kini melihat Kok Siang telah menghadapinya, diapun tidak ragu-ragu lagi mencabut goloknya.

Bukan saja golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini telah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sesterawan ini. Selain itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan pit dari emas dan perak itu. Senjatanya itu terjatuh ketika pemuda ini terjebak ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini.

Maka, dibandingkan dengan pertemuannya pertama kini pihaknya lebih banyak memperoleh keuntungan dan dia merasa yakin bahwa dia sekali ini akan menang dan akan dapat membalas kekalahannya tempo hari.

"Kutu buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!"

Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan, memutar goloknya dan menyerang kalang kabut.

Tiba-tiba nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu dengan gerakan menggunting dari kanan kiri.

"Cringgg...!"

Hai-pa-cu Can Hoa terkejut bukan main ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan perak.

"Ehhh...!"

Teriaknya kaget dan heran melihat betapa pemuda itu sudah memegang sepasang senjatanya! Tentu saja dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong, telah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat tahanan, dan ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu dibawanya dan tadi di dalam guha, dia telah mengembalikan senjata itu kepada pemiliknya masing-masing.

Kok Siang tersenyum mengejek.
"Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti disana untuk membuat perhitungan denganmu!"

Hai-pa-cu Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan diapun sudah menyerang lagi, goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi di balik keganasan sikapnya ini, tersembunyi rasa gentar yang hebat, membuat mukanya pucat dan matanya terbelalak.

Dilain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan tenang, merasa yakin bahwa dia akhirnya pasti akan mampu mengalahkan penjahat yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini.

Kim Hong tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan dengan senyum mengejek.

"Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!"

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: