*

*

Ads

Senin, 29 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 055

Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya bershe (marga) Siangkoan.

Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi kemana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya.

Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main.

Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta!

Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri.

Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.

Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu.

Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar.

Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.

Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangan di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling.

Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.

Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah.

Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali.

Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, dimana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.

Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh.






Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap.

Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam.

Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta.

Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.

Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul disitu dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin.

Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.

Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.

"Brakkk!"

Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya.

"Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"

Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu.

"Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menyelamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kawsu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."

“Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.

"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!"

Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.

"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.

"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dan tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah puteri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wanita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu kepandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.

"Aihh, perempuan setan itukah yang kau maksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?"

Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah.

Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, diantara para tokoh sesat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.

"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja.

Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali.

"Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.

Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang.

"Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"

"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.

"Karena mereka berada di pihak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.

"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"

Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.

“Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: