*

*

Ads

Selasa, 23 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 036

"Iiihhh...!"

Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang. Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi ia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Ia merasa penasaran dan kehabisan akal. Ia tahu bahwa ia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah ia keluarkan namun belum juga ia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu.

Ketika ia melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, ia menjadi girang sekali. Begitu lawan menyerang, ia melihat lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang dan kesempatan yang lebih besar. Maka ia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang seolah-olah ia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena jebakan ini!

Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi girang sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Ia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan dan menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.

"Hong-moi, mundur...!"

Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali dan dia hendak meloncat ke depan mencegah isterinya. Akan tetapi, Hek-hiat Lo-mo menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga, seruannya sudah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.

"Wuuuttt... srettt...!"

Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas dan gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan.

Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, namun sukar sekali dan selagi ia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di bawah lengan Lian Hong dan menotok dada, tepat di dekat ketiak.

"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.

Han Tiong mengeluarkan geraman yang menggetarkan seluruh tempat itu, menerjang kakek yang menghalang dengan tongkat. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, dia kini mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun, melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan, kedua lengannya dikembangkan dan dari dua tangannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.

"Tukk! Desss...!"

Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang dan Han Tiong terguncang tubuhnya terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang rebah miring.

Hek-hiat Lo-bo yang melihat suaminya terjengkang, mengeluarkan suara pekik melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaiannya tidak di bawah suaminya ini.

"Tukk! Plak! Desss...!"

Tubuh Hek-hiat Lo-bo juga terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit duduk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut dan hidung mereka keluar darah. Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuan tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lalu duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, melarikan diri tidak mungkin, apalagi melawan!

Han Tiong sendiripun terluka, akan tetapi untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh melindungi tubuhnya sehingga biarpun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, namun totokan-totokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tidak sampai mengakibatkan luka parah.

Dia tidak memperdulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biarpun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!






"Hong-moi... aihhh, Hong-moi... engkau menjadi korban kekerasan keluargaku..." dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.

Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan kedua orang musuh itu agaknya sudah terluka parah tinggal menyusulkan pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka.

Tentu saja sebagai dua orang yang pandai, kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi, sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.

"Hah, majulah kalian, heh-heh...!"

Hek-hiat Lo-mo menantang. Isterinya juga siap di sebelahnya, tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.

"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya, Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.

Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari tepi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu, sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.

Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan pendekar ini karena melawan pendekar ini tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah.

Tiba-tiba Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.
"Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bunuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak merasa rugi, nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"

Sinar berapi-api penuh kemarahan memancar dari sepasang mata pendekar ini, dan kedua tangannya mengepal tinju. Terdengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga dan dua orang tua itu merasa semakin serem.

Mereka tahu betapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam kedua tangan itu sehingga sekali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.

Akan tetapi pukulan yang dinanti-nantikan itu tak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isterinya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya menggetar penuh duka.

"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, setelah kalian membunuh isteriku dan lima belas orang muridku, keuntungan apakah yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"

Mendengar pertanyaan aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab,

"Tentu saja nenek guru kami tidak dapat hidup kembali, dan keuntungan yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagian!"

"Benarkah itu? Benarkah kalian merasa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"

"Sudahlah, kami sudah kalah dan gagal, engkau boleh membunuh kami, kami tidak merasa takut!"

Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya.

"Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyambung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan kubikin putus rantai karma yang membelenggu diriku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai disini saja."

Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.

"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?"

Nenek itu bertanya, suaranya mengandung isak tertahan karena ia terlepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.

Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang.
"Benar, kalian boleh pergi..."

Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri dan lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup mereka belum pernah mendengar yang seganjil ini, apalagi mengalaminya.

Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarangpun mereka mulai merasa menyesal sekali. Peristiwa pembunuhan ini akan menghantui mereka selama hidup dengan penyesalan. Kalau pendekar ini merasa dendam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di hati mereka. Akan tetapi kini sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali telah melakukan pembunuhan di hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.

Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah.
"Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali..." kata kakek itu.

"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong, lalu dia menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang.

Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.

Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang amat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian tertatih-tatih merekapun pergi meninggalkan Lembah Naga.

Setelah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi amat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka dan setiap kali ada murid Pek-liong-pang datang, meledaklah ratap tangis diantara mereka.

Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul di malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dalam kesempatan ini, para murid kepala menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.

"Suhu, teecu sekalian tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang sudah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka.

Para murid lainnya mengangguk setuju dan semua mata ditujukan kepada pendekar itu. Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.

"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"

"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."

"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: