*

*

Ads

Senin, 22 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 035

Han Tiong mengerutkan alisnya.
"Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."

"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami tidak mempunyai permusuhan apapun dengan Pek-liong-pai. Salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dahulu membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguruannya melanjutkan usaha guru kami untuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dandam."

"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"

"Hemm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang amat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayahmu? Ayahmu boleh mati, akan tetapi masih ada puteranya dan cucu-cucu muridnya!"

Cia Han Tiong mengerutkan alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Mendiang ayahnya tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa memang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan diapun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuhnya dalam perkelahian. Makin terasa olehnya betapa buruknya hidup dalam kekerasan. Sampai turun-temurun, dandam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Harus diakhiri ikatan karma ini.

Manusia selalu dikejar ikatan karma karena ulah sendiri. Kini, saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejarnya dan anak cucunya, sepenuhnya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan saja nyawanya? Kakek dan nenek ini memiliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas kalau hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan putera tunggalnya tentu akan mereka cari untuk dibunuh! Tidak, dia harus mempertahankan keluarganya. Dia harus membela diri dan melindungi keluarga dan para muridnya.

"Orang yang dibebani dandam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.

Kakek itu tertawa.
"Nama kami tidak ada gunanya kau ketahui. Akan tetepi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalas dandam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan tetapi apa gunanya? Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"

Cia Han Tiong melangkah maju.
"Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhitungan lama secara jantan. Marilah engkau dan aku menentukan dengan nyawa kita dan urusan dandam ini kita habiskan disini, tidak perlu menyangkut orang lain."

"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga dan murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan terlepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.

Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata,

"Marilah kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya inipun mempersiapkan diri.

Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruhnya mundur dengan sikap halus.

"Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan persoalan i-ni," katanya.

"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Tidak perlu sungkan dan malu. Kami datang berdua dan kami sudah mempersiapkan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kerahkanlah semua tenagamu disini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melakukan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.

Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan.

"Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, kalau setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."

"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga dan muridmu!"






Hek-hiat Lo-bo membentak dan nenek ini sudah menerjang dahsyat menggunakan tongkatnya yang meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.

Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya menangkis ujung tongkat sambil meloncat ke belakang.

"Plak-plak... brettt!"

Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.

Kedua pihak terkejut. Kakek dan nenek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini mengambil posisi di kanan kiri lawan dan tongkat mereka membuat gerakan-gerakan aneh dan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja.

Melihat gerakan mereka yang teratur, Han Tiong dapat menduga bahwa kedua orang ini memang telah mempelajari cara bersilat berdua merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara teratur dan rapi, dapat saling bantu dan saling melindungi secara otomatis. Mengertilah dia mengapa mereka tidak mau maju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.

"Sing...!"

Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh itu, untuk dapat membela diri dengan baik diapun mencabut pedangnya. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah mempergunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.

"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.

"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.

"Wuuutt... sing... trang-trang...!" pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat.

Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan tongkat mereka!

Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak dan menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak di kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas mengacau kedudukan lawan dan mengalihkan perhatian agar tangan kiri mereka lebih banyak memperoleh kesempatan untuk "mencuri" kelengahan lawan.

Maka diapun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.

Akan tetapi, dua orang kakek dan nenek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang berbahaya sekali dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka.

Kaki mereka itu dapat menyelingi serangan tongkat dan tangan dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakukan dalam berbagai posisi. Tendangan langsung, miring ke belakang, bahkan tendangan lutut. Cara menendang gaya Sailan ini tidak dikenal Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari selatan yang menggunakan sepanjang kaki dengan pengerahan kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan dari jarak dekat, menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya.

Betapapun juga, kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.

Ciu Lian Hong merasa penasaran ketika suaminya menyuruhnya mundur tadi. Apalagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan nampak terdesak, ia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.

"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya dan nyonya itupun meloncat ke depas, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.

"Plakk...!"

Tubuh nyonya itu nyaris terpelanting ketika tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.

"Heh-heh, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya.

"Tranggg...!"

Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong telah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.

"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."

"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.

Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat,

"Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"

Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang lagi, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.

Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka iapun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.

Betapapun jugat tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu memang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biarpun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pedang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat.

Sejak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, sesuai dengan petunjuk suaminya, tidak pernah membalas karena ia mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi, lama kelamaan nyonya ini merasa penasaran. Ia didesak dan dihimpit dan biarpun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus ia belum pernah terpukul, akan tetapi kalau hanya bertahan terus, akhirnya pasti ia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah kesalahannya!

Tadi Han Tiong melihat betapa tingkat kepandaian isterinya masih kalah jauh dibandingkan lawan, maka dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walaupun isterinya takkan menang, setidaknya isterinya akan dapat melindungi diri sendiri sampai dia berhasil mengalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong.

Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai. Kini, tanpa memegang pedang, sebetulnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhutang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas agar jangan sampai dia membunuh lawan.

Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Dan tiba-tiba saja Lian Hong yang sudah penasaran itu mulai membalas dengan serangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!

"Haiiittt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: