*

*

Ads

Selasa, 23 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 037

"Tapi, suhu. Mereka datang menyebar maut membunuh! Setelah suhu mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang tee-cu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Sungguh bisa membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.

Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata melihat betapa pahit kadang-kadang kenyataan hidup itu adanya.

"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, dan kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita kalau kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apapun alasannya, apalagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andaikata kita membunuh mereka berdua apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak, tidak ada gunanya sama sekali kalau kita membunuh mereka, bahkan kita menanam lagi bibit permusuhan baru. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."

Hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.

"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah setiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon dan berbuah yang harus kita petik sendiri pula? Karena itu, kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman sendiri, dan kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima malapetaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku telah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."

"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.

"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."

Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum sehingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tidak bicara lagi, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.

Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam, menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih.

Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka. Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputaran seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.

Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan lalu menggeser duduknya di belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke meja sembahyang.

Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu. Dia tidak mengharapkan tamu luar. Para muridnya sudah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan kalau mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar.

Dia tidak ingin malapetaka yang menimpanya itu diketahui dunia kang-ouw. Dan rahasia ini mungkin saja dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai?

Para murid Pek-liong-pang tidak ada yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh mahluk-mahluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri dan bulu tengkuk mereka meremang.

Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget dan memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang.






Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya penuh cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia nampak bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.

"Ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku ikut berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.

Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia telah minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dapat menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat.

Ketika kakek itu menjura ke arahnya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sin-kang dan balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kehebatan tenaga sakti yang menyambar kepadanya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuatnya merasa dadanya terhimpit sesak!

Selagi Han Tiong hendak menghentikan adu tenaga ini dengan jalan menghindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya.

Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka. Kakek inipun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usia-nya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).

"Heh-heh-heh...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana bisa dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"

Sambil berkata demikian, kakek tinggi kurus yang bajunya penuh tambalan inipun menjura dari belakang Han Tiong dan pendekar ini merasa betapa ada tenaga mujijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.

Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan adanya adu tenaga sakti itu, mengira bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang hendak bersembahyang, lalu menyalakan beberapa batang hio dan dengan sikap hormat menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek, masing-masing tiga batang.

Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-sahabat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di antara kedua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang seru!

Dua orang kakek itu tersenyum-senyum menerima tiga batang hio. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba meluncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel!

Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di tangan kakek jembel juga meluncur ke depan, menyambut tiga jalur asap pertama. Terjadilah pemandangan yang amat yang amat menarik, aneh dan menegangkan.

Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, seperti enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Anehnya, bara api pada hio-hio itu amat besar nyalanya seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itupun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itupun membuyar dan pertandingan berhenti.

"Ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi besar tertawa gembira.

"Dan engkau orang gunung liar semakin binal saja!" kakek jembel itupun tertawa.

"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi besar.

"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.

"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tiada isi, hampa belaka!" kata kakek tinggi besar.

"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."

"Ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itupun merupakan suatu pendapat, bukan?"

Wajah kakek jembel itu berobah merah dan sejenak dia seperti kebingungan.
"Sudahlah!" dia mengetukkan tongkat bambunya di atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di manapun dan kapanpun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tidak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"

Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa.
"Engkau tahu bahwa ucapanmu itu hanya gertak sambal! Akupun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"

"Baik, bagaimana caranya?"

"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"

"Baik!"

Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan.

"Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"

"Ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"

"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!

Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.

"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.

Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya.
"Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri tiada artinya dibandingkan mereka itu. Melihat sin-kang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai daripada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Namun, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo maupun kedua kakek tadi, sama sekali tak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai daripada orang yang terkenal!"

"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"

"Entahlah. Entah ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan tetapi, kalau orang-orang sakti seperti mereka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."

Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.

"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang telah kalian peroleh disini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang sudah bubar dan segala perbuatan kalian adalah urusan pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Kalau ada yang bertemu dengan Cia Sun, beritahukan segalanya dan suruh dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."

Tentu saja para murid menjadi berduka. Akan tetapi mereka mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!

**** 037 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: