*

*

Ads

Senin, 22 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 034

"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah disitu masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.

TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU
HEK-HIAT MO-LI

"Tidak salah lagi, suhu kita yang menumpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tidak mampu mengalahkan musuh," kata lagi si nenek.

"Jangan keliru. Pada waktu itu, suhu hanya memiliki tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."

"Engkau benar, kanda. Untunglah bahwa dia telah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tiba saatnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

"Mau keturunannya, atau muridnya, akan kita gempur dan basmi sampai habis seakar-akarnya!"

Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tumpukan tiga bongkah batu itu memberi hormat, kemudian sejenak mereka bersamadhi di tempat itu seperti orang mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri, wajah mereka penuh semangat dan dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.

Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti lagi. Bagaimanapun juga, wajah mereka nampak tegang dan agaknya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan dan kekuatan para penghuninya.

Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada saat itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan. Sebaliknya, empat anggauta Pek-liong-pang yang bertugas di sebelah kanan istana itu, melihat kemunculan kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu.

Tentu saja mereka merasa heran dan cepat mereka menunda pekerjaan mereka. Dua orang diantara mereka menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu diantara ajaran yang mereka dapatkan di perguruan Pek-liong-pai, yaitu menghormat orang yang lebih tua.

"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapakah?" tanya seorang diantara dua murid Pek-liong-pai itu.

Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian si kakek bertanya, suaranya terdengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing,

"Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!

"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."

Kini kakek dan nenek itu saling pandang dengan wajah membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya,

"Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"

"Yang tinggal disitu adalah suhu dan subo..."

"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.

"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."

"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"






Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai mengerutkan alisnya. Kakek dan nenek ini jelas orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, mereka menjawab juga.

"Suhu adalah putera beliau."

Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu.

"Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?" teriak si nenek marah.

Dua orang laki-laki yang usianya mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Dua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu. Namun, gerakan mereka jauh kalah cepat.

"Kekkk! Kekk!"

Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.

Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi kaget dan merekapun cepat lari menghampiri ke tempat itu. Ketika mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.

"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?" bentak seorang diantara mereka.

"Mampuslah!"

Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan. Akan tetapi, dua orang murid Pek-liong-pai itu selain lebih tangkas daripada dua orang sute mereka yang tewas, juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.

Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang amat dahsyat. Mereka hanya mampu mengelak beberapa kali dan ketika terpaksa mereka menangkis, terdengar suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang diantara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan semua murid Pek-liong-pai sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu.

Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi dan robohlah mereka dengan tubuh utuh. Kepala mereka yang kena ditampar dan tanpa kelihatan terluka, mereka roboh dan tewas seketika. Hanya nampak tanda menghitam di pelipis mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!

Akan tetapi pekik melengking yang dikeluarkan oleh seorang diantara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tidak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga.

Akan tetapi pada saat itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan diantara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menanti dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.

Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian putih itu berdatangan dari segenap penjuru ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain.

Biarpun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, melainkan mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri.

Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, dan seorang diantara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.

"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka dan kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami?"

Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanan memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itupun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.

"Ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semua sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa yang dapat membunuh musuh paling banyak!"

Setelah berkata demikian, nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu telah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai! Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi kini yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja dua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biarpun mereka kaget sekali, mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.

Maklum bahwa kakek dan nenek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu mencabut pedang mereka dan seorang diantara mereka memberi komando,

"Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!"

Suheng ini masih memperingatkan para sutenya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya mengenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika.

Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dielakkan saja, itupun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit.

Para murid itu mempergunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul mempergunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan. Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, diantara dua puluh lima orang murid, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Tahan senjata...!"

Bentakan ini demikian penuh wibawa dan memiliki getaran khi-kang yang amat kuat sehingga kakek dan nenek itu terkejut dan mereka meloncat ke belakang, melintangkan tongkat di depan dada lalu menatap ke depan.

Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, telah berdiri disitu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri melihat belasan orang muridnya telah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, sedangkan yang sepuluh orang lagi kelihatan pucat dan gentar. Diapun memandang ke arah kakek dan nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.

"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.

Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia mengangguk.
"Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andaikata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?"

Pertanyaannya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.

"Ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu dan benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: