*

*

Ads

Senin, 22 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 033

Istana tua di Lembah Naga itu dahulu merupakan tempat yang amat sunyi, akan tetapi semenjak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu tidaklah begitu sunyi lagi.

Di kanan kiri gedung istana tua itu kini didirikan bangunan-bangunan pondok dimana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih. Para murid atau anggauta Pek-liong-pai selain belajar ilmu silat di tempat itu, juga mereka bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu dan ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.

Banyak sudah murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan dan mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apalagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itupun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.

Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap sangat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan belajar disitu akan mengalami ujian dulu, diteliti watak dan bakatnya.

Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah. Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat masih mentah sajalah yang tidak mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan hal ini selain amat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.

Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai, belasan tahun yang lalu, ayah ibunya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, juga mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.

Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersamadhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak musnah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong membantu puteranya untuk memberi gemblengan ahlak kepada para murid Pek-liong-pai, dengan mempelajari budi pekerti dan ilmu kesusasteraan.

Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.

"Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikian antara lain dia menasihatkan murid-murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiripun adalah manusia, maka kitapun tidak terlepas daripada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya dan keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit.

Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin inipun dapat sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan perbuatan sesat, besok atau lusa bisa bertobat.

Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali tekebur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiripun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah kepada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya.

Sebaliknya kita menyadarkan mereka, dan itu berarti mengusahakan pengobatan. Kalau perlu memang kita dapat menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya, agar dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnyapun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."

"Akan tetapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang sesudah dihajar berkali-kali, belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"

Cia Han Tiong tersenyum lebar.
"Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringan penyakitnya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan maupun penyakit batin."

"Maaf, suhu," seorang murid lain membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, dan orang itu menyerang dan hendak membunuh kita? Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"






"Jangan kalian salah paham," Han Tiong menjawab. "yang dinamakan membunuh hanyalah perbuatan yang kita sengaja lakukan karena kebencian di hati. Menjaga dan melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup. Kalau untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita merobohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan dengan sengaja, maka hal itu tidaklah buruk. Aku tidak melarang perbuatan tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, sedapat mungkin, cegahlah serangan yang dapat mematikan lawan."

Demikianlah antara lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Han Tiong terhadap murid-muridnya. Oleh karena itu, para murid yang dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai sebagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian putih mereka, selalu mendatangkan kagum di dunia kang-ouw.

Para pendekar menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan kepada pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali terjadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, walaupun dengan ilmu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu menekan si penjahat untuk menghentikan kejahatannya.

Cia Han Tiong dan isterinya hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat tentu saja sehingga dalam usia dua puluh tahun saja Cia Sun telah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus penuh perasaan, berwibawa, jujur dan setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajaran Nabi Khong Cu.

Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat dan batinnya tenteram.

Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih kelihatan gagah perkasa dan wajahnya membayangkan watak yang budiman, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa.

Isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berusia empat puluh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang pergi mewakili Pek-liong-pai menghadiri pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu.

"Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," kata Cia Han Tiong kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."

Isterinya menarik napas panjang.
"Aku selalu menghargai pendirianmu, suamiku, dan memang aku dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"

"Aaah, itulah yang kadang-kadang menyedihkan hati sekali. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan. Kemudian golongan putih menentang mereka dengan kekerasan pula. Kalau keduanya sudah menggunakan kekerasan, maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari hati mereka sehingga tindakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."

"Cinta kasih? Cinta kasih terhadap kaum sesat yang jahat seperti iblis...?"

Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.

Suaminya menggeleng kepala.
"Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu siapa saja, tidak memilih golongan. Dengan dasar ini, maka mereka yang merasa bersih itu bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."

Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing ia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang membingungkannya.

"Ah, kalau saja Cia Sun pulang..." katanya dan iapun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan yang membentang luas di depan istana Lembah Naga.

Suaminya juga bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.
"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicara mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."

Ciu Lian Hong menoleh kepada suaminya,
"Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan bertemu sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tidak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?"

Berkata demikian, isteri yang mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.

Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa lagi nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang ketika kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya.

Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tahun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dewasa.

Akan tetapi, isterinya itu terutama sekali merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis! Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seolah-olah terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong.

Dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong. Satu diantara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang ditakuti orang.

Hubungan itulah, dan watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi, bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan ia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!

Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaannya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja.

Keduanya berjalan dibantu oleh tongkat mereka. Kakek itu bertongkat hitam dan si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.

"Benar di sinilah tempat itu, kanda?" tanya si nenek dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu.

Kalau menggunakan tenaga orang biasa, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat dan menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: