*

*

Ads

Senin, 22 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 032

"Ha-ha-ha, sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"

"Ahli makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu. Sayang kita tidak mempunyai alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu kecuali garam yang selalu kubawa dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe, hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat sekali."

Hui Song makin kagum dan mulutnya menjadi basah karena bangkit seleranya oleh keterangan tentang masakan-masakan sedap itu.

"Dan bagaimana kalau digoreng?"

"Kurang tepat. Daging kodok batu terlalu lunak kalau digoreng bisa hancur. Untuk gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Dan daging katak ini terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis tidak mempunyai alat masak dan bumbunya sih."

"Panggang daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak sekali!" kata Hui Song.

"Memang! Akan tetapi daging ini takkan matang kalau kita hanya omong-omong saja. Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok ini!"

Tak lama kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat dan mereka makan lebih lahap dan gembira daripada tadi.

"Hemm, belum pernah aku makan selezat ini!"

Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar.

"Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Pandai engkau membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"

Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berobah merah sekali.

"Biarpun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk di waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."

"Ah, pantas kalau begitu? Siapa gurumu memasak?"

"Guruku...? Ia... enciku sendiri."

Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit dan memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum.

"Ha! Aku tahu siapa encimu!"

"Eh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapa nama enciku dan dari mana ia datang?"

"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku, aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah ia telah menyelamatkan aku, membantuku ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkaupun membantuku, jadi kalian adik dan enci selalu membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, ketika aku bertemu dengan encimu, ia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama encimu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat encimu sesumber dengan ilmu silatku."

Sui Cin diam-diam merasa geli dan wataknya yang bengal membuat ia ingin mempermainkan pemuda ini.

"Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enciku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"

"Ah, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakannya?" kata Hui Song sambil menatap tajam wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Wajahnya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, kalau tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."

"Eh, kau ini menggambarkan wajah enciku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur, merasa sungkan dan tidak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.






"Habis, wajah encimu itu seperti pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.

"Teruskan, teruskan...!"

"Pendeknya, encimu itu seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... eh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."

"Cukup, engkau memang sudah mengenalnya." kata pemuda jembel itu, menyembunyikan perasaan girang dan juga malu di hatinya.

Bagaimana ia tidak akan merasa girang akan tetapi juga jengah mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci?

"Memang aku sudah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kau beritahukanlah aku siapa nama encimu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."

"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Terus terang saja, aku dan enciku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enciku."

Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan suka sekali menggoda orang, wataknya agak berandalan. Akan tetapi diapun cerdik dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka diapun tidak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walaupun dia merasa jauh lebih tua daripada jembel muda ini.

"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka kalau tidak muncul encimu yang lihai dan yang membantuku sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."

Sui Cin mengangguk-angguk.
"Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang berilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang amat terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!"

Sui Cin yang mendengar dari ayahnya tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai, lalu berdiri dan memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itupun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.

"Aihh, adik yang baik, minta ampun jangan menyebutku taihiap!"

"Kenapa? Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"

"Wah, tidak kuat aku menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tidak pernah merasa menjadi taihiap. Apalagi pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecilpun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"

Sui Cin tertawa. Hatinya senang sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar? Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka dan rendah hati malah?

"Baiklah, aku akan menyebutmu kakak. Bagaimanapun, engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja daripada aku."

"Beberapa tahun? Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"

"Aku sudah enam belas tahun... eh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun."

"Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hut Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."

"Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar akan keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"

Hui Song tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah? Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin takkan menikah!"

"Eh, kenapa? Semua orang menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."

"Apakah itu suatu keharusan? Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau memang hatiku ingin."

"Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."

Hui Song tersenyum lebar dan menggeleng kepala.
"Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama encimu?"

"Hei, Song-twako. Engkau berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kau tanyakan hanya enciku melulu?"

Hui Song tertawa menutupi rasa malunya.
"Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"

"Namaku Ceng Sui Cin..."

Hui Song bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri.
"She Ceng? Ah, sudah kuduga dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"

"Hemmm... engkau sudah tahu banyak tentang ayahku?"

Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!

Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala.
"Tentu saja aku tahu tentang ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian amat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa tentang beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."

Memang tinggi hati ketua Cin-ling-pai itu, pikir Sui Cin. Bagaimanapun juga, ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.

Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah seorang yang congkak, tinggi hati. Akan tetapi, begaimanapun juga, keadaan ini melegakan hatinya. Ia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song karena dengan demikian ia boleh mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.

"Sekarang ceritakan, siapa nama encimu itu, Cin-te (adik Cin)?"

Sui Cin tersenyum.
"Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Kalau aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Ia galak sekali lho. Sebaiknya kelak saja kalau engkau berjumpa lagi dengannya, tanyakan sendiri, Song-twako."

Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah berjumpa dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka diapun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan encinya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya.

Bagaimanapun juga dia telah berkenalan dan bersahabat dengan adik dara itu, inipun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan encinya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimanapun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang amat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.

"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Di manakah mereka tinggal?" tanyanya.

"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... eh, untuk mencari enciku disana."

"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.

Sui Cin tersenyum menggoda.
"Eh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai? Mengapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"

Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song tertawa.
"Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan encimu. Akan tetapi, sesungguhnya, selain keinginanku berkenalan dengan encimu, juga ada hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."

Sui Cin merasa tertarik.
"Hal-hal penting apakah, twako?"

"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali ketika aku melihat kaisar dalam penyamaran dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting dan aneh sekali? Aku ingin menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tidak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."

Sui Cin mengangguk-angguk.
"Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."

"Baiklah, dan akupun akan membantumu mencari encimu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.

**** 032 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: