*

*

Ads

Rabu, 17 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 020

Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu.

Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dangar hanya gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan semua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang benar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim.

Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.

Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.

Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk.

Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.

Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang sudah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita.

Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan dimana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.

"Krakkk...!"

Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu dimana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim!

Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta.

Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak dan wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.

Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerakkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!

"Blarrrr...!"

Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.

Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang.

"Hemm, gara-gara si tolol ini!" katanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam!






"Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?"

Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Kalau banyak yang seperti itu diantara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh.

Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang biasanya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka, biarpun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.

Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.

Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah!

Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan meremukkan batu-batu.

Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siang-koan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot panjang pemain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.

Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin.
"Sekarang, setelah kita gagal disini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"

Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri.

Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-sen-kok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat.

Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.

Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.

"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-mu-rid Siauw-lim-pai. "Apalagi jumlah mereka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa pertemuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."

Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai dan karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Si-lat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan.

Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting dan karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya, maka perkumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.

Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu.

Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!

Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing.

Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, diantara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun.

Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.

Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu.

Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.

Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: