*

*

Ads

Kamis, 18 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 021

Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.

"Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon.

Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.

Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.

"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.

Laki-laki itu menjura.
"Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."

"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.

"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."

Sui Cin tersenyum. Dia dapat memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai.

"Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!

Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini.

Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya memancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun melompat ke belakang.

"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat dan mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."

Tentu saja omongan ini tidak diperdulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Diapun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.

"Maaf, nona. Saya diberi tugas memberitahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini."

Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apalagi mendengar disebutnya nama Si Iblis Buta.

"Ah, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran.






Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?

"Saya tidak dapat menerangkan banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap.

Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung. Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang kesitu hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan.

Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apalagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.

Selagi ia termenung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis meloncat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.

Akan tetapi orang itu tertawa ramah.
"Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."

Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.

"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"

Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin.

"Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."

"Baru saja dia datang kesini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."

"Dibatalkan?" Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, kenapa dibatalkan?"

"Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."

"Hemmm..."

"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."

"Benarkah...?"

"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."

"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"

"Tidak, hanya namanya saja yang kukenal."

"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?"

"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"

"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."

"Kita...?"

"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"

Sui Cin tersenyum.
"Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat."

Sim Thian Bu juga tersenyum.
"Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."

"Kenapa?"

"Karena engkau lihai..."

"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"

"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"

Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya.

Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.

"Hati-hati berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba."

Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.

"Kalau kita pergi dari sini, kemana tujuanmu?"

Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu dan membuntal semua pakaiannya.

"KeMana? Ha-ha, nona, sudah kuberitahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu kemana akan pergi. Kemana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong kesana? Tentu saja kalau nona suka."

Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.

"Baik, kita pergi kesana," kata Sui Cin.

Ia mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.

**** 021 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: