*

*

Ads

Rabu, 17 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 017

Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata.

"Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita."

Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.

Setelah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di depan raksasa itu.

"Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tangannya ke depan.

Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

"Hehh!"

Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke belakang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek.

Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.

Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing.

Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.

Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.

"Eh, eh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.

Nenek itu mendengus.
"Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"

Raksasa baju hijau itu tertawa besar.
"Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!"

Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa!

Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu. Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak!

Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan gin-kang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.






Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.

"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya.

Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.

"Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"

"Ha-ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.

"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!"

Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar daripada seorang tokoh sesat.

Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.

"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.

"Sambutlah!" kata Lo-mo dan diapun mulai menyerang.

Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama dengan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi dan hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis.

Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seperti terguncang-guncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.

Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo berjalan seru, lebih ramai daripada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimanapun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya.

Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.

Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul dan nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu, diam-diam dia sebagai seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.

Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwe Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya itu.

Tiba-tiba terdengar suara mengomel,
"Hemm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"

Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul.

Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul disitu, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,

"Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?"

Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka.

Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu!

Dan semua orang yang hadir disitu, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja.

Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!

Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)!

Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggauta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi.

Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, kemanapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.

Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja.

Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya.

Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.

Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesungguhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: