*

*

Ads

Rabu, 17 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 018

Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat dimana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, dimana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan.

Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga diantara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun diantara para pendekar pernah melihatnya.

"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.

"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.

"Diam!" bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"

Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik.

"Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!"

Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat dimana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Diantara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu.

Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu.

Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu melewatinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Diahat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

"Hanya ada dua puluh dua orang semuanya?"

Tiba-tiba Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan merekapun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah!

Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing.

Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya sehingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.

"Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.

"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"






"Ada tujuh orang, lojin."

Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.

"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."

Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat menempel di lehernya.

Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu!

"Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"

Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan.

"Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.

"Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia dapat menolongnya itu.

Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek.
"Kalau aku tidak mengampuninya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal telah bersalah kepadaku?"

"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.

"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta.

Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

"Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

"Sudah, mundurlah dan mari kita lanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Kita berkumpul disini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan berusaha menumpas kita semua."

Hening sejenak setelah Iblis Buta berhenti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak,

"Hancurkan manusia-manusia sombong itu!"

"Bunuh semua pendekar!"

"Serang mereka pada pertemuan itu!"

Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.
"Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena diantara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan kekerasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pelaporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."

Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor,

"Lojin, anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."

"Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani mengganggunya!"

Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.

"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?"

"Bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"

Semua orang mengangguk.
"Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."

Iblis Buta mengerutkan alianya.
"Bukankah kau katakan bahwa ada dua pengawal rahasia yang melindungi kaisar?"

"Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berkepala botak.

Iblis Buta mendengus.
"Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"

Koai-pian Hek-mo den Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.

"Bagus, setelah selesai urusan kita disini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek buta.

Memang bagi kakek ini, keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya.

Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin, yang menyuruh anak buahnya, dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.

"Ada dua tugas yang agak berat namun penting sekali," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!"

Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya.
"Tar-tar-tarr..! Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: