*

*

Ads

Rabu, 17 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 016

Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu terdapat sebuah daerah liar yang jarang didatangi orang karena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah berbatu-batu, penuh dengan guha-guha gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas dan binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini.

Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi batu-batu dan guha-guha nampak didatangi banyak orang. Melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat.

Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi anggauta dari masing-masing golongan tentu saja kepentingan masing-masing membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri.

Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari suatu sebab.

Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam, iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas.

Dan setiap orang manusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan kesenangan dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan menjadi berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.

Orang yang baru tersesat disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu memilih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan sebagai balasan, merekapun menamakan golongan para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada yang menamakannya kaum munafik!

Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun segera bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar!

Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang merasa dirinya sudah "tokoh" untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Dan memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.

Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri.

Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.

Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding guha-guha itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang.

Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang dalam kesakitan. Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya.






Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!

Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena gerakan mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ.

Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah!

Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka dimalam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.

Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala!

Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian.

Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandainya berani lancang memasuki daerah itu dimana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya.

Mereka tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mereka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakaian putih berkabung.

"Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.

"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberitahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali.

Suami-isteri ini adalah dua diantara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.

Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobahan apapun, akan tetapi mata mereka bersinar-sinar.

"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.

"Huh, memuakkan. Kesini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.

Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik guha seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng.

Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya.

Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang.

Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo.

Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya.

Diam-diam kakek dan nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.

Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya.

Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.

Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.

"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.

"Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?"

Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.

"Segala macam daging yang kau makan itu apakah bukan bangkai? Bangkai binatang yang kau makan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"

"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.

"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai dimana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: