*

*

Ads

Kamis, 28 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 20

Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra.
"Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik? Engkau saling mencinta dengan sasterawan itu? Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya seorang gadis seperti engkau ini, tidak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Matipun tidak akan penasaran kalau kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan akupun akan melindungimu terhadap ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, dimana aku dapat bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"

"Biarpun namanya amat terkenal di kotar raja, namun tidak ada yang tahu dimana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekarpun tidak mampu menemukan tempatnya itu."

"Tapi engkau tahu tempatnya?"

Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang tampan dan menarik itu.

"Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong mendapatkan pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Kalau cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."

Thian Sin tersenyum.
"Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.

"Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi juga dia mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Kalau hanya untuk uang, amat berbahaya kalau taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..."

"Hushhh... kau pikir kami ini orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya dan penuh rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itupun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepadanyalah kami akan menyerahkan harta karun itu, karena dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."

Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
"Nama Pendekar Sadis selama ini membuat aku merasa serem dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Betapapun juga, hatiku khawatir sekali membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."

"Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja dimana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu."

In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata.

"Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."

"Ehh...?" Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan main. "Di rumah jaksa? Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas dan menuntut para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari pada kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"

In Bwee tersenyum pahit.
"Ceng-taihiap, agaknya biarpun engkau seorang pendekar yang sudab banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Disini, para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tiada bedanya dengan tukang-tukang pukul bayaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Disini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan."

"Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual-belikan di kota raja ini? Dan apakah jaksa itupun dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?"

"Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, sejak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sanapun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar."






"Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"

Gadis itu mengangguk.
"Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..."

Thian Sin mengusap dagu yang halus itu.
"Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan hati-hati sekali dan terima kasih atas segala keteranganmu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."

"Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah sekali dan mungkin akan menjatuhkan hukuman karena aku telah gagal merayumu..."

"Siapa bilang gagal? Ah, tidak percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."

In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri.
"Memang, dia amat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu tentang keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah, kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah berjumpa dengan Bu Kok Siang yang mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, kalau sekarang suhu membunuhkupun aku tidak akan penasaran lagi."

"Hushh, siapa bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhumu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kau berikan ini kepadanya."

Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya dan memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu ia menatap wajah Pendekar Sadis.

"Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"

Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar telah berobah, sudah berpihak kepadanya dan diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Diapun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu.

"In Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci inipun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."

"Hemm, kunci palsu?" bisik gadis itu.

Thian Sin tersenyum.
"Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."

Berseri wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik aseli ataupun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan suhunya tidak mempunyai alasan untuk marah kepadanya.

Andaikata kunci emas itu palsu sekalipun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana ia tahu kalau kunci itu palsu? Ia akan selamat, akan dapat bertemu kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan bertumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya.

"Terima kasih, taihiap, terima kasih..."

Katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu. Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan ingat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskanya pelukannya dan iapun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela.

Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yang menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas.

Dia mengepal tinju. Dia telah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, dimana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu dimana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang dan sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, diapun dapat tidur pulas.

Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Tentu saja Thian Sin merasa heran sekali di samping kegelisahannya. Kekasihnya itu melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang? Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta kepada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tidak pernah memperlihatkan cemburu terhadap dirinya, walaupan sering gadis itu menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang!

Cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih berarti memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri. Tidak mungkin ada unsur pemaksaan disini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak!

Kalau mencinta, dengan sendirinya tidak ada penyelewengen, sebaliknya kalau tidak mencinta, takkan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu dan pura-pura belaka.

Kegelisahan di hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itupun termasuk komplotan jahat, sungguhpun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sasterawan muda itu.

Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarangan orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat amatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja. Kaum sesat itu amat berbahaya dengan kelicikan dan kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya.

Akan tetapi dia tidak tahu kemana Kim Hong menyelidiki pemuda sasterawan itu. Pula kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, biarpun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi.

Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu dan dia segera menyalakan lilin dan memandang kepada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu.

"Ada apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin.

"Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia..." kata In Bwee dengan suara setengah meratap.

Melihat gadis yang kelihatan amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, menyuruhnya duduk dengan halus.

"Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi."

"Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..."

"Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!"

Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan setelah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee dapat menguasai keguncangan hatinya.

"Ceng-taihiap, mereka kemarin telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... eh, maksudku Bu Kok Siang."

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: