*

*

Ads

Jumat, 29 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 21

"Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"

Gadis itu mengangguk dan menarik napas panjang, menunduk.
"Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap, mereka mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."

"Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"

"Benar. Mereka menyerah ketika melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka dibawa ke tempat tahanan jaksa, dimana terdapat kamar jebakan. Mereka terjebak dan dibius, dan tertawan, kini berada dalam kekuasaan suhu..."

Thian Sin mengerutkan alisnya.
"Cepat, beritahukan aku dimana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan disana."

In Bwee memberitahukan tempat itu, akan tetapi iapun tidak tahu benar seluk-beluk tempat itu karena belum pernah kesana. Namun bagi Thian Sin hal itu tidak ada artinya. Baginya, yang terpenting tahu dimana kekasihnya itu ditawan.

"Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir." katanya dan gadis itupun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah.

Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, ia terkejut melihat sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu!

"Paman..."

"Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.

"Aku..." In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapapun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka iapun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang, "Paman, aku dan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat ia kau tawan, hatiku menjadi gelisah sekali dan aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta tolong agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."

Kakek itu memandang tajam.
"Hanya untuk itu saja?"

"Habis untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan sudah saya serahkan kepada paman? Saya tidak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekalipun."

Sejenak kakek itu diam, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu mampu menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tak dilihat oleh siapapun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.

"Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."

Sementara itu, Kim Hong dan Kok Siang juga tidak mengalami keadaan yang menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tak mungkin dapat mereka elakkan. Ketika mereka siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai tidur, melainkan dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang!

Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki dan tangan, juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan ada alat pemanasan untuk dibakar yang berada di bawah dipan.

Ketika siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, tahulah ia bahwa ia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlalu kuat, juga ia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan.

Andaikata pengaruh totokan itu sudah hilang sekalipun. belum tentu ia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Ia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang kepadanya dan tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu. Sungguh luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum.






"Engkau masih bisa tersenyum?" tanyanya.

"Kenapa tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematianpun rasanya ringan jika dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merobah keadaan, mengapa tidak memilih senyum diantara senyum dan tangis? Ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"

Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, memiliki ilmu silat yang tidak rendah, juga memiliki keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu!

"Apanya yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu.

"Masa tidak lucu? Kita dikeroyok penjahat ditaman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan sekarang kita telah dibelenggu disini, seperti penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Siapakah yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, apakah kita?"

"Tentu saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih disini!"

"Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlalu kurus kalau disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, mereka kecelik. Yang masuk adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, sungguhpun kebanyakan dari mereka besikap keren dan menyeramkan.

Kim Hong memandang penuh perhatian dan iapun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang kehilangan seorang anggautanya karena tewas oleh anak panah yang hendak membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar dilepas oleh kepala mereka sendiri.

Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan dan dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnym riap-riapan nampak pula diantara mereka.

Kim Hong tidak heran pula melihat munculnya Su Tong Hak diantara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sesungguhnya, tanpa kedok manis seperti ketika ia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan dan tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang bersekongkol dengan para penjahat.

Adapun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika ia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat.

Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia sungguh merasa terkejut ketika melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik inipun tahu bahwa tentu jaksa itu bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, diapun berteriak-teriak.

"Heiii! Apa-apaan ini? Penasaran! Kami tidak berdosa, kenapa ditangkap? Dimana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Kenapa bukan komandan pasukan yang datang? Kami menuntut keadilan!"

Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, kumis dan jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu sudah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar.

"Plakk! Plakk!"

Dua kali muka Kok Siang ditampar dengan keras dan karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan sehingga ia tidak mampu mengerahkan sin-kang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah dan pipi kanannya menjadi merah membengkak.

"Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha, sobat, kiranya engkaupun seorang pengecut, beraninya hanya setelah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini dan aku akan membuat engkau tak mampu bangun kembali!"

"Siucai sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali. "Plak! Plakk!"

"Cukuplah!"

Tiba-tiba kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, berkata dan Hai-pa-cu Can Hoa menghentikan tamparannya. Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak oleh tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.

"Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"

Seperti juga Kim Hong, pemuda ini sudah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah jumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya sudah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee!

Jadi inilah orangnya yang telah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga kaki tangannya, yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, diapun mengangguk.

"Benar." jawabnya. "Teman-temanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakag engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?"

"Tutup mulutmu yang lancang dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak.

Jagoan dari Yen-tai ini nemang merasa sakit hati kepada Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan dan mungkin membunuh pemuda yang dibencinya itu.

"Bu Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?"

Kok Siang menggeleng kepalanya.
"Tidak, aku tidak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."

"Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.

"Ah...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh.

"Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau telah berani menentangku dan siapapun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik.

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: