*

*

Ads

Kamis, 28 Desember 2017

Harta Karun Jenghis Khan Jilid 19

"Dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukan seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya mau mendekati wanita kalau wanita itupun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau."

Setelah berkata demikian, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lalu memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu.

"Uhh... uhhh...!"

In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat dan akhirnya tubuhnya terkulai lemas, ia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, ia jatuh terkulai di atas pembaringan.

"Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau telah datang disini pada tengah malam, mencoba merayuku kemudian menyerangku tanpa memberitahukan sebab-sebabnya. Selayaknya engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciuman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!"

In Bwee yang menerima tugas dari suhunya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, mempergunakan kecantikannya, kini mengerti bahwa usahanya yang dilakukan secara terpaksa itu telah gagal sama sekali. Ketika tadi ditangkap kedua lengannya tanpa ia mampu melepaskan diri, kemudian ketika ia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa!

Kini ia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Ia teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba iapun menangis sesenggukan.

"Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan melihat wanita cantik menangis."

Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu. Mendengar ucapan halus ini, tangis In BWee makin menjadi dan iapun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk.

Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untuk menundukkan hatinya, melainkan tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka diapun merasa kasihan, lalu merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu. Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora berahi, melainkan rasa iba ygng tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu.

"Maafkan aku... ah, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian ia berbisik-bisik diantara isaknya.

Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu dan diapun berkata.

"Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."

Gadis itu tidak menjawab, menghabiskan isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Setelah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seolah-olah himpitannya terbawa keluar oleh air mata, iapun mulai bicara.

"Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."

Tentu saja kalimat pertama ini amat mengejutkan Thian Sin, sungguhpun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.

Wajah itu masih pucat dan basah, dan matanya agak kemerahan, memandang sayu.
"Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhuku..."

"Suhumu...?"






Kini Thian Sin mengerti. Keluarga gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi disana ada suhunya!

"Ya, suhuku... juga pamanku..."

"Ah, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"

Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk.
"Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu kulakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"

Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam tersenyum senang.
"Nona... eh, In Bwee, adik yang manis, diantara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau telah tahu bahwa aku dahulu memang pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebenarnya kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang kesini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau telah tahu akan semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau akupun mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."

Sampai lama In Bwee berdiam diri dalam pelukan Thian Sin. Akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

"Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."

"Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."

"Benar, aku tahu dan aku iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."

"Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu."

"Sejak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang memiliki kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar amat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ah, betapa aku telah mengkhianati guru dan pamanku dan aku takkan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini."

"Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan ceritamu."

"Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayah sendiri membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, peta itu tidak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hong. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidikimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan kalau perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu atau setidaknya keterangan darimu tentang kunci emas itu. Nah, sudah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tatapi juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..."

Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah ia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain.

"Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang mendekat, aku tentu mengetahuinya." kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhumu, kenapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"

Ditanya demikian, kembali In Bwew menangis, air matanya mengalir keluar dan dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah,

"Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyelewang, ketika aku berusia delapan belas tahun, aku menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suhengku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, murid itu tidak mau bertanggung jawab dan suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Kalau aku tidak menurut, bukan saja dia akan membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."

Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam diapun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga dalam hidupnya telah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya. Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja ia lemah dan tergelincir, hal itu merupakan malapetaka yang akan merobah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang kehidupannya.

Rasa takut akan membayanginya selalu, takut kalau ketahuan aib yang menimpa dirinya. Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya!

Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, dicaci, dihina dan tidak ada seorangpun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini!

Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat. Tentu saja, seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melalui sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, terdorong oleh nafsu dan kelemahan.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup yang tak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria menolaknya sebagai barang hina! Apalagi bagi Kim Hong yang menyerahkan keperawanannya kepada Thian Sin tanpa syarat, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta.

Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu amat ditentangnya. Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan.

Orang yang benar-benar mencinta, tak mungkin akan mau mencelakakan orang yang dicintanya itu. Kalau ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga agar orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apalagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya.

Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah adalah suatu hal yang buruk dan hina dan pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Kalau dia melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta berahi belaka!

Untuk memuaskan hasrat berahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintainya, terancam malapetaka hebat kalau terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air.

Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walaupun belum disahkan dengan upacara dan pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang mendalam diantara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala aturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak perduli tentang upacara dan pesta pernikahan.

"Aku memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh dan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku lemah terhadap rayuan pria. Aku tidak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali.

Harta Karun Jenghis Khan







Tidak ada komentar: