*

*

Ads

Kamis, 10 Agustus 2017

Pendekar Sadis Jilid 179

"Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?"

"Habis, apa lagi? Bukankah kita sudah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja."

"Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak."

"Apa... apa maksudmu?"

"Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu melainkan untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu adalah urusan sama kita. Sedangkan pernikahan, secara umum, berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga."

Thian Sin merasa penasaran.
"Habis, kalau menurut rencanamu, dimana kita harus mengasingkan diri?"

"Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!"

"Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?"

"Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Disana aman, kita takkan terganggu..."

"Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?"

"Thian Sin! Kalau engkau tidak maupun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!"

"Eh, engkau memaki?"

"Ya, aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?"

"Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!"

"Eh, kurang ajar? Kau kira aku takut padamu? Kau kira aku ini apamu, harus taat kepadamu, ya?"

Setelah berkata demikian, Kim Hong meloncat ke depan menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Plak!"






Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri dan iapun menjadi semakin marah.

Dengan mata berlinang iapun lalu menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong hati yang marah. Thian Sin terpaksa melayani karena diapun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka itu saling mencumbu rayu, dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan!

Tingkat kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang, dan andaikata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, kiranya Thian Sin hanya akan menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apalagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu seru sekali dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah.

Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka telah terasa nyeri dan matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, walaupun mereka tidak mempunyai niat untuk saling bunuh.

Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sin-kang diimbangi oleh keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang amat lihai. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu. Lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring,

"Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!"

Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran dan di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihai bukan main. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sibuk dan terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya.

Karena gerakan wanita itu amat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya mengira bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu!

Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka ia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tidak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka diapun menangkis dengan lengan kanannya.

"Dukkk!"

Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itupun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main.

Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang pernah dilihatnya ketika ia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi.

"Dukkk!" Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.

"Tiong-ko, tahan, jangan serang, ia adalah teman sendiri!"

Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu.
"Harap maafkan saya."

Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling pandang dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul.

"Sin-te...!"

"Tiong-ko...!"

Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyum tapi mata mereka basah, dan saling berpegangan tangan. Baru terasa oleh mereka betapa diantara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.

"Sin-te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?" Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan.

Thian Sin menunduk, merasa bersalah. Berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini.

"Maafkan Tiong-ko, aku... aku harus melaksanakan urusan pribadiku... yang berhubungan dengan mendiang ayah..."

"Hemm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?"

"Tiong-ko, bukan keinginanku berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang telah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?"

Kim Hong mendengarkan dengan penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani!

"Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, kalau engkau melakukan penentangan itu dengan hati penuh kebencian lalu melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, melainkan menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannyapun tak dapat dinamakan baik. Kalau caranya kotor, maka tujuannyapun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat."

Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.
"Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?"

"Apa salahnya mengampuni orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya kalau memang dia itu ingin kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah orangnya yang tidak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walaupun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan maupun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita?”

“Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tidak selamanya demikian, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah kepada orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng."

Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Iapun merasa bahwa ia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Ia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apapun juga.

Akan tetapi semenjak ia bertemu dengan Thian Sin, semenjak ia menanggalkan penyamarannya sebagai Lam-sin, ia seolah-olah hidup di dunia lain. Iapun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, ia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu terasa benar oleh sanubarinya. Ia sendiripun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran dan ibunya seorang pendekar wanita!

"Ah, Tiong-ko, betapa aku merindukan semua kata-kata dan nasihatmu selama ini..." Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. "Akan tetapi, apa hendak dikata, semua itu telah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semua telah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?"

"Yang sudah-sudah memang tak dapat diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga telah menyerbu Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau telah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?"

Thian Sin melirik ke arah Kim Hong, melihat dara itu diam mendengarkan diapun mengangguk.

"Ahh, Sin-te... Sin-te...! Engkau ini pendekar bagaimana? Apakah engkau tidak tahu bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? Kau tahu, sekarang Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tidak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau, sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!"

"Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?"

"Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: