*

*

Ads

Kamis, 10 Agustus 2017

Pendekar Sadis Jilid 178

Telah lama sekali kita tidak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti telah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Diapun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong.

Akhirnya, dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga telah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Adapun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu.

Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia saja. Sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya di Pegunungan Himalaya.

Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tidak berhasil menemukan adik angkatnya, akhirnya dengan hati berat karena kecewa dan berduka Han Tiong pulang ke Lembah Naga, disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya menghibur,

"Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan anak kecil lagi. Kalau dia mau mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalanginya? Biarkanlah saja, kelak kalau dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga."

"Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau terlalu kau perlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi semakin manja kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja," sambung ibunya.

"Justeru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku merasa khawatir sekali. Dia masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh," kata Han Tiong menarik napas panjang.

"Habis, setelah engkau tidak berhasil mencarinya, apa yang dapat kau lakukan, Han Tiong?" tanya ayahnya.

"Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasihatinya."

Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya.

"Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan, perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu ia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian."

"Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi," sambung ayahnya.

Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum ketika gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.






"Hong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Ia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya," kata ibunya.

"Hemm, yang lebih dari itu, ia amat mencintaimu, Han Tiong," sambung ayahnya.

"Kau tidak percaya?" kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. ”Dia tidak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari ia mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua belas tengah malam ia pasti bersembahyang di pekarangan, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat."

Keharuan mencekam hati Han Tiong dan diapun menunduk. Keharuan disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini mempunyai keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin! Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja dan dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!

"Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian," kata pula ibunya.

"Kuharap saja Sin-te sudah pulang pada waktu itu, ibu."

"Hemm, kenapa begitu?" tanya ayahnya.

"Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat kepadanya, mungkin dia terancam bahaya dan malapetaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?"

Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata,
"Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin”.

Biarpun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya terhibur, apalagi disitu terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab.

Gadis itu memang manis budi, bukan hanya manis wajahnya, dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ah, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ!

Kurang lebih dua bulan kemudian, seorang diantara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!

"Belum tentu dia, Tiong-ji," kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.

"Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya."

Ayah bundanya, juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi dan memberi waktu enam bulan. Setelah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.

"Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu amat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andaikata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira."

Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan minta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai.

Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya lalu berangkat karena isterinya berkeras mau ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya.

Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sian-jin dan mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui dan murid-muridnya!

Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan main. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang dipergunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali dan dia makin mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya. Ketika dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia makin terkejut dan cepat pergi menyusul adiknya ke barat.

Demikian tekun sekali ini Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu daripada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.

Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang amat indah dimana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.

Mereka berdua tinggal di situ, seperti sepasang pengantin baru yang setiap saat bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi.

"Eh, ke manakah kita menuju sekarang...?" tanya Kim Hong.

Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka berjalan terus perlahan-lahan.

"Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita."

Kim Hong juga tertawa.
"Akupun sudah mempunyai rencana yang baik sekali."

"Bagus!" kata Thian Sin. "Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?"

"Tapi," kata Kim Hong. "Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?"

"Ah, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita saling mencinta, bukan?" kata Thian Sin.

"Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui rencanaku."

"Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik."

Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu memandang pemuda itu dengan alis berkerut.

"Nah, nah hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku."

"Rencanaku baik sekali. Kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga..."

"Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?"

Kim Hong bertanya dan nampak terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.

"Mengapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman..."

"Tidak! Aku tidak akan ke sana!" Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, ia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. "Dan di sana bertemu dengan gadis yang kau cinta itu, Ciu Lian Hong?"

"Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang telah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh..."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: