*

*

Ads

Minggu, 30 Juli 2017

Pendekar Sadis Jilid 157

"Celaka... ia membunuh diri...!" kata Si Jangkung yang cepat membuka daun pintu dengan kuncinya, kemudian dia mendorong daun pintu itu dan berlari masuk diikuti oleh dua orang temannya.

Si Jangkung cepat menghampiri Kim Hong dan berjongkok di dekat gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu. Pada saat itu selagi Si Jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari masuk, Kim Hong bergerak cepat sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring.

Kim Hong menyambut Si Jangkung dengan tendangan kilat yang tepat mengenai anggauta kelamin orang itu dan pada detik berikutnya, ketika Si Jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong menyambar ke arah tenggorokannya.

"Krekkk!"

Hanya itulah suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi keluarnya teriakan Si Jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kim Hong sudah menyambarnya.

Pada detik yang hampir sama, nampak sinar perak berkelebat dua kali dan tubuh dua orang penjaga lainnya telah roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya sinar pedang menyambar sehingga dua orang itu tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriakpun tidak sempat karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah tenggorokan mereka. Mereka inipun roboh disambar oleh tangan Thian Sin sebelum jatuh berdebuk.

"Bagaimana dengan pergelangan lenganmu?" bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan mayat-mayat itu tanpa mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong.

Gadis itu memeriksa pergelangan lengannya dan menggerak-gerakkannya.
"Hanya luka di kulit saja, tidak berbahaya," jawabnya.

"Tidak nyeri kalau digerakkan? Kita menghadapi banyak lawan tangguh."

Kim Hong Menggelengkan kepalanya.

"Bagus. Nih kau pakai pedangku..."

"Tidak perlu, Thian Sin. Kau pakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang pasangan, dan pedang mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai sebelum aku menemukan kembali pedang pasanganku yang mereka rampas." Kim Hong mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu.

Setelah mencoba memutar-mutar sepasang pedang itu dengan kedua pergelangan tangannya digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata,

"Mari, aku sudah siap!"






Thian Sin memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terbebas dari ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinya itu bukan bahaya yang lebih mengerikan daripada maut.

"Engkau tidak takut...?" Thian Sin bertanya dengan bisikan.

"Tidak, aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, akupun tentu akan mendapatkan akal untuk membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk, lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan kupaksa membukakan belenggu ini," jawab Kim Hong tenang dan Thian Sin percaya akan kemampuan gadis itu bahwa dengan kedua lengan terbelenggu sekalipun Kim Hong akan mampu membunuh mereka bertiga itu.

"Sekarang mari kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya kepadamu, kita harus membalas dendam dan menghancurkannya!" kata Thian Sin.

"Kita harus berhati-hati, jangan sampai melayani mereka bertempur di dalam tempat ini karena banyak mengandung rahasia yang berbahaya."

"Kita bakar saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk dibunuh," kata Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok dengan rencananya.

Kini setelah langit-langit itu berlubang, keduanya tentu saja dapat meloncat dan menerobos melalui lubang dan menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar dari atas genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling pondok itu dari atas, Thian Sin berbisik,

"Engkau melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini, kemudian kita bertemu dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi lawan banyak."

Kim Hong mengangguk dan merekapun berpencar. Tak lama kemudian, nampaklah api berkobar dari sebelah kanan dan kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan para penjaga dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika terdengar pula teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh.

See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran. Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya.

Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lain, dia melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang mengamuk dari dua jurusan itu.

See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui.

Di bawah sinar api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, dan kedua orang muda itu dikepung. Thian Sin menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek.

"Hemm, kiranya See-thian-ong yang katanya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu...!" kata Kim Hong.

"Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!" Thian Sin menambahkan.

Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Kedua matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu.

"Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!" bentaknya.

"Wah, betulkah? Apakah ada yang bisa mengantarku ke kematian? Hemm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!"

Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali.

Akan tetapi, biarpun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah kepadanya. Maka diapun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah setingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan setingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu.

Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin!

"Siapa diantara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!" Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu.

Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seolah-olah melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.

Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek, tidak memegang senjata, belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlumba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang dari depan hendak merangkul pinggang!

Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam telah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!

Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan ia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggauta rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan.

Hanya terdengar suara "tokk!" dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar. Hanya terdengar suara "Plak-plak!" dan dua orang itupun roboh dengan kepala retak. Lima orang itupun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!

Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan kaget bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas dalam segebrakan saja, menjadi marah dan mereka telah mencabut senjata masing-masing.

Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar sudah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal lihai sekali dengan permainan tongkat Giam-lo-pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut).

Dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuhnya, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka. Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu ia bergerak, semua orang terkejut karena tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya nampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah muncrat di sana-sini dan sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang.

Ketika dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya!

See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut, mengerutkan alisnya dan membentak,

"Bukankah itu Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?" bentakan ini disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam.

Betapapun juga, Lam-sin dapat dibilang masih "rekan", sama-sama datuk kaum sesat, maka kalau sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia penasaran sekali.

"Heii, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kau hadapi itu?" kata Thian Sin mengejek.

See-thian-ong terbelalak, akan tetapi masih belum mengerti benar, atau kalaupun dia mengerti, dia sama sekali tidak percaya.

"Tapi... Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh...!" katanya.

"See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa engkau memperlakukan sebagai anjing semalam?"

Wajah See-thian-ong menjadi pucat. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin mempermainkannya, atau sengaja mempergunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar.

"Siapapun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!" katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: