*

*

Ads

Minggu, 30 Juli 2017

Pendekar Sadis Jilid 156

"Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuknya!" perintahnya kepada seorang murid, dan diantara murid-muridnya yang mengurung tempat itu segera maju dan membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.

"Letakkan piring itu di depannya," perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.

Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti dan daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja ia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena ia tidak mampu menggerakkan kedua tangannya.

Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Ia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Kalau menuruti hatinya, tentu saja ia lebih baik memilih mati daripada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa mereka ini, kecuali Cian Ling mungkin, amat membenci Thian Sin, karena itupun tentu saja membencinya sebagai kekasih pemuda itu.

Mereka ingin melihat ia terhina, dan ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas. Kalau ia menolak suguhan ini, berarti ia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi.

Selain dari itu, makanan di depannya ini amat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai ia kelaparan, ia akan lemas dan ilmu silatnyapun takkan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka, Kim Hong lalu mendiamkan pikirannya sehingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, dan iapun lalu menekuk tubuhnya ke depan.

"Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!" kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.

Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan seperti seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring dan perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanya merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!

Biarpun agak sukar, piring itu kadang-kadang terdorong ke depan dan terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering dan ia ingin sekali minum.

"See-thian-ong, aku ingin minum," katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu "darahmu"!

"Ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!" kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali.

Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu dan sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lalu mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.






Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Dia telah berhasil memperoleh keterangan tentang dimana ditahannya Kim Hong dari tiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu.

Tidak sukar menemukan pondok itu diantara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dia memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok.

Dengan perlindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk, kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong. Dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng setelah merasa yakin bahwa disitu tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk.

Akan tetapi, diapun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia dapat menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong.

Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong.

Kalau saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati! Kalau See-thian-ong cerdik, tentu akan dibunuhnya Kim Hong seketika itu juga, tidak mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dan diapun mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu.

Maka Thian Sin hanya menonton saja. Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi.

"Bawa ia kembali ke kamar tahanan," kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak berharga menjadi lawan yang ditakuti. "Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!"

Maka terhindarlah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguhpun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Ia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa ia akan diperkosa oleh dua puluh orang apabila Thian Sin tidak muncul, justeru merupakan pertanda bahwa kalau Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu ia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi.

Tiada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan ia seperti itu. Akan tetapi kalau Thian Sin terkena pancingan dan datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan ia diperkosa oleh banyak orang di depan matanya.

Hal ini ia yakin benar! Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, dan membiarkan ia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika ia kelak "dibantai" oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.

Sementara itu, Thian Sin mengikuti dengan pandang matanya kemana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka diapun dengan cepat dan hati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, dan mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan.

Ketika mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng segera mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.

"Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua diantara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok," bisik Si Muka Bopeng.

Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi ditahannya dan ia bergegas memasuki kamar tahanan itu.

"Nanti dulu," kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong.

Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu kedua pergelangan tangan agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong dan gadis ini menggigit bibirnya.

Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih ia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan daripada kekurang ajaran dua orang temannya.

"Awas kau kubunuh kau lebih dulu nanti...!" kata suara hati Kim Hong ketika Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

Thian Sin melihat ini semua. Tangannyapun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang diantara mereka sempat berteriak memanggil teman-temannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Diapun lalu meneliti keadaan kamar itu.

Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang berjeruji atasnya. Untuk memasuki dari pintu tidak mungkin. Maka diapun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langit kamar itu amat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apalagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal.

Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga nampak paku itu, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu.

Akhirnya, berhasillah dia membongkar papan persegi selebar satu meter itu dan mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan.

Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang sudah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lalu gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu.

Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka iapun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan "aman". Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara.

Tanpa bicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian diapun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua lengan kekasihnya. Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu.

"Mereka sedang bermain kartu..." bisiknya.

"Hanya bertiga itu?" bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.

"Kita pancing mereka masuk," kata Thian Sin.

Kim Hong mengangguk.
"Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan yang terdekat, dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara," bisik gadis itu dengan sikap tenang.

Diam-diam Thian Sin kagum. Tidak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, karena memang sikapnya bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.

Thian Sin membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan yang dimiringkan oleh Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang kembali kawat berduri pada lengannya dan rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah menggunakan darah yang membasahi kedua lengan tangannya, dioleskan ke pipi dan dahinya dan kini ia miring memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu.

Ia merintih-rintih lirih. Suara gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu dan nampak wajah tiga orang penjaga itu. Si Jangkung dan teman-temannya terkejut sekali mellhat dipan sudah terguling, apalagi melihat dahi dan pipi sebelah kiri gadis itu berlepotan darah.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: