*

*

Ads

Kamis, 22 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 122

"Kami telah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu," kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah.

"Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru bisa bicara tentang maaf!" kata Si Muka Codet.

Tukan obat itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras,

"Mana bisa? Keuntungan kamipun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?"

"Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal dan biarpun membayar kepada kami setengahnya sekalipun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!" kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali.

Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak dapat ditahannya lagi,
"Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau dan mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlalu banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan disini, maka kami telah melanggar dan harap ji-wi suka memaafkan. Biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi."

Berkata demikian, tukang obat itu yang belum tahu dengan pengemis macam apa ia berhadapan, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka.

"Plakk!" Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu terlempar.

"Hemm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kau kira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kau ganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?"

Inilah penghinaan yang sudah jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka diapun melompat maju dan bertolak pinggang.

"Sobat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan dikira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!"

Dua orang pengemis itu melotot.
"Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?"

Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan, sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya dimana dia bersandar.






"Apakah engkau sudah bosan hidup?" bentak Si Codet dan diapun sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu.

Akan tetapi, tukang obat itu mengelak dan balas memukul ke arah lambung. Si Codet menangkis.

"Dukk...!"

Dua lengan bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka nyeri.

Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang. Si Codet yang merasa sebagai jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada orang berani menentangnya, merasa penasaran dan menyerang lagi dengan cepatnya.

Seperti para anggauta Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan ilmu silatnya, Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang dapat cepat sekali dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat.

Tukang obat itu harus mengeluarkan semua kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka saling serang dan keadaan mereka seimbang, walaupun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu silat yang lihai itu. Melihat betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah.

"Pengecut jangan main keroyok!"

Dan iapun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam. Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada puterinya agar mundur.

"Cin-ji, mundurlah, biarkan aku menghadapi mereka!"

Akan tetapi, tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat ia sudah menyerang Si Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benarlah, kepandaian dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apalagi ia kalah tenaga.

Setiap tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa nyeri sekali dan ia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir dan dara itu tidak dapat berdiri lagi.

"Ha-ha-ha, malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!" kata Si Muka Hitam yang kini cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak.

Melawan Si Codet seorang saja dia sudah terdesak, apalagi setelah Si Muka Hitam maju. Mulailah Si Tukang Obat menerima pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Namun, dia masih terus melawan sungguhpun setiap kali dia bangkit, hanya untuk menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka.

"Ha-ha-ha, nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!" Si Muka Hitam tertawa-tawa.

"Hayo kau ikut bersama kami!"

Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di atas tanah karena kakinya terkilir dan ia tidak mampu bangkit berdiri.

Ketika lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorangpun yang berani melerai, apalagi menolong dara dan ayahnya itu.

Dunia sudah kacau,
dunia sudah gila
binatang buas
berkedok manusia
merajalela di kota raja
seenaknya tanpa ada yang berani
merintanginya.

Semua orang terheran-heran melihat seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca sajak dengan suara merdu, mendekati tempat dua orang pengemis Hwa-i Kai-pang itu bereaksi. Dua orang pengemis inipun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi marah sekali.

"Heh, engkau inilah yang agaknya sudah gila. Hayo pergi, atau kupatahkan tulang-tulangmu bersama kipasmu!" bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah memukuli Si Tukang Obat dan kini agaknya hendak mencari sasaran lain untuk memamerkan kekuatannya.

Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan menghampiri dara yang sudah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya.

Thian Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu.

"Tuk-tukk!"

Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka cepat iapun bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu. Thian Sin menjura kepada dara itu.

"Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona. Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam saja? Hayo kau hajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!" Berkata demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu.

Entah apa yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin. Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa dengan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang terkilir menjadi sembuh kembali. Akan tetapi dara itu sudah meloncat ke depan menyerang kepada pengemis muka codet.

"Cin-ji... hati-hati...!"

Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai itu.

Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat betapa pukulan tangan dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet.

"Plakkk!"

Pukulan itu cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

"Bagus nona! Itu anjing belang muka hitam minta bagian!" seru Thian Sin dengan suara gembira.

Semua orang yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri. Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendangan kaki ke arah perut Si Muka Hitam.

"Desss...!"

Si Muka Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian perutnya yang tertendang karena terasa nyeri.

Si Codet dan Si Muka Hitam sudah bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka hendak menggerakkan tangan atau kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan tidak dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan dan tendangan gadis itu selalu tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, mereka tidak mampu bergerak lagi!

Dara itu menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Maka dia terus menyerang kedua orang pengemis itu bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya. Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu jatuh bangun seperti ketika ayahnya dihajar tadi.

Sementara itu, tentu saja semua itu disebabkan oleh Thian Sin yang mempergunakan kepandaiannya sehingga kedua orang pengemis itu tidak berdaya. Dan mulutnya terus memberi anjuran kepada dara itu,

"Terus, nona. Hantam terus! Atau lebih baik gunakan kaki saja. Mereka itu tidak pantas bersentuhan dengan tanganmu, lebih baik gunakan sepatu menghajar muka mereka!"

Dan dara itu pun menurut. Agaknya Thian Sin melihat bahwa dara itu memiliki ilmu tendangan yang baik sekali, maka dia memberi anjuran demikian. Dan kini, orang-orang melihat betapa kedua kaki dara itu bergantian menyambar-nyambar dan setiap kali menyambar, tentu mengenai muka kedua orang pengemis sehingga hidung dan mulut mereka berlumuran darah!

Dua orang pengemis itu kini mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi, tetap saja setiap kali tendangan tiba, mereka tidak mampu bergerak dan akhirnya, setelah muka mereka bengkak-bengkak dan berdarah, keduanya lari meninggalkan tempat itu.

"Heiii, ini pedang kalian tertinggal!"

Thian Sin berseru dan mengambil dua batang pedang mereka yang memang tadi terlepas dari pegangan dan mereka tinggalkan.

Sekali mengayun tangannya, Thian Sin melepaskan dua batang pedang itu yang menyambar seperti dua batang anak panah ke arah dua orang pengemis itu. Terdengar dua orang pengemis itu menjerit dan mendekap telinga kiri mereka yang telah buntung disambar pedang mereka sendiri dan kini mereka melarikan diri seperti dikejar setan saking merasa ngeri dan takutnya!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: